Sumber: Ibu-ibu DI

Tanya

Mau minta sharing dan infonya tentang les Kumon, anakku (7 tahun, kelas 2 SD) senang sekali pelajaran matematika, sekarang ini dia ingin sekali ikut les Kumon, cuma aku belum menyetujuinya. Kalau Moms semua ada pengalaman tolong info ke aku ya, sejauh mana kegunaan les kumon ini, apa plus minusnya? Tadi aku sudah telepon Kumon yang di cempaka putih, ternyata bayarannya juga lumayan mahal, Rp 276.000,- sebulan (pertemuan hanya 2 kali seminggu), tapi kalau memang bagus dan mumpung anaknya mau ya boleh juga [Yn]

Jawab

Jangan lewat jalur pribadi, aku juga mau tahu soal ini. Kebetulan anakku masih balita dua-duanya, yang besar 4 tahun senang sekali sama hitung-hitungan yang dibantu gambar, yang kecil 3 tahun masih belajar angka (kadang bisa kadang tidak, tergantung keinginannya dia). Nah dua-duanya belum lancar baca, baru bisa mengeja sama sedikit suku kata, KUMON terima tidak yang seperti anakku gitu? Maksudnya tingkatan persyaratannya, apakah harus bisa baca? Apa termasuk pengenalan angka? Sekalian tanya kalau SEMPOA, juga pertanyaan yang sama, apakah bisa untuk anak yang baru belajar membaca dan angka seperti anakku? Apa persyaratannya. Terima kasih sekali, mbak Yn aku numpang pertanyaan ya [DH]

Mbak, sekarang ada pekan free trial kumon dari tgl 18 sd 28 februari??? Coba saja ikut free trial ini nanti kalau memang bagus bisa dilanjutkan. Anakku baru ikut kumon 1 bulan yang lalu, sekarang dia di TK B (umurnya 5,5 tahun). Sejauh yang aku lihat, Kumon sangat membantu aku (dan suamiku) supaya anakku bisa belajar berhitung dan menulis angka (kali karena anakku masih TK kali yaa). Tiap hari pasti ada pe-ernya mbak, lumayanlah buat orangtua bisa memantau anak dan juga kurikulum kumon. Sejauh yang aku lihat, jam lesnya fleksibel mulai dari pagi sampai jam 6 sore, setiap les pasti didampingi sama gurunya. Oh iya sebelum masuk, anak akan ditest untuk menentukan tingkatan si anak sudah sampai di mana [Vr]

Aku sudah mengikutsertakan anakku (laki-laki 7tahun) les kumon (Kumon Laut Banda-Duren Sawit) dari tahun 2004, dimana si sulung ini berumur 5 tahun 5 bulan (waktu itu masih TK B) dan setelah dites penempatan masuk ke level 4A (level dasar adalah 7A), hal ini disebabkan anakku sudah bisa membaca dan menulis. Sekarang anakku itu sudah di level C dan pelajarannya adalah perkalian (sekarang dia kelas 2 SD). Kumon menerapkan metode belajar yang disiplin artinya setiap hari si anak diberikan PR atau latihan di tempat les dan masih mengalami salah atau nilainya tidak 100 (OK) maka yang bersangkutan harus diulang terus menerus dengan materi pelajaran yang sama sampai ybs mendapat nilai 100. Tujuannya bagus mendidik anak belajar pelajaran harus rutin dan setiap hari pasti diberikan PR dan diperlukan pencatatan waktu (berapa menit/jam dalam pengerjaannya). Untuk anakku yang kedua lain lagi yang ini memang susah diajarkan rutinitas, makanya sampai lulus TK B belum bisa baca apalagi nulis. Akhirnya Kumon-nya tidak aku ikutsertakan, tapi si anak maksa-maksa ingin ikutan biar sama-sama abangnya katanya ke tempat les. Akhirnya aku ikuti juga coba gratis, tapi menurut guru Kumon lebih baik ajarkan dulu anaknya membaca baik huruf atau angka di rumah (Aku sampai beli buku yang dijual di Kumon untuk memperkenalkan angka kalau tidak salah harganya waktu itu Rp 9.000), karena menurut guru Kumon juga sayang kalau anaknya belum mampu menyerap materi yang ada di Kumon (takut terbebani) apalagi uang kursus lumayan mahal (Pendaftaran Rp 250.000 + bulanan Rp 276.000). Akhirnya aku sampaikan hal ini ke anakku berdasarkan hasil analisa laporan guru Kumon, dan anakku mau terima. Terus pada bulan Juli 2005 (anakku kelas 1 SD) yang bersangkutan aku ikutsertakan tes penempatan, dan dari hasil tes masuk level 7A. Dengan berjalannya waktu dan setiap hari dipenuhi dengan rutinitas yang dihadapi pada akhirnya anakku setelah 3 bulan di kelas 1SD sekarang bisa dan lancar baca/tulis dan Kumonnya udah di level 4A dan mau naik ke level 3A di bulan ini.

Hal-hal positif yang diberikan Kumon :
1. Menanamkan kebiasaan belajar pada setiap anak sejak dini
2. Melatih disiplin akan tugas pelajaran yang harus dilakukan
3. Belajar dengan memulai dari yang termudah dan kontinyu
4. Apabila anak mendapat nilai baik&waktu pengerjaan yang cepat akan diberikan pujian/point unt ditukar hadiah. Kalau Sempoa aku tidak punya pengalaman [Bl]

Semoga dapat membantu ibu-ibu yang lain;

METODE KUMON:
Kumon itu mempunyai target agar anak dapat/ atau mampu mengerjakan matematika SMA, sehingga jika anak tersebut masih duduk di SD mungkin tidak kelihatan perubahan yang signifikan dalam kenaikan nilai. Untuk ibu yang stay at home dan bisa meluangkan waktu menemani anaknya belajar Kumon boleh dijadikan salah satu pilihan. Karena setelah anak tersebut memasuki level 4A ke atas semua worksheet harus menggunakan limit waktu, waktu mulai dan waktu selesai mengerjakan harus di catat. Kumon dapat menerima anak dari 2 1/2 th – SMA.

SEMPOA:
Sempoa itu melatih kecepatan berhitung pada anak (tambah, kurang, kali, bagi) memang sangat cocok untuk anak TK sampai kelas 3 SD. Tapi tidak semua yayasan menerima Sempoa dari TK ada beberapa yang hanya punya program basic ( khusus SD) Metodenya juga ada banya dari yang 1 tangan, 2 tangan, dsb. Pada tingkat mahir sempoa akan masuk ke sempoa bayangan sehingga tidak perlu lagi menggunakan sempoanya.

Berdasarkan pengalaman pribadi:
Ke dua anakku setelah memasuki level 4A mereka jadi sedikit stress karena dalam mengerjakan ter-uber-uber dengan waktu. Kata pembimbingnya waktu mengerjakan worksheet paling lama 15 menit, karena anakku masih TK yang mengerjakannya tidak bisa dipaksa untuk fokus. Untuk anak ku yang pertama dia bisa bertahan hanya sampai level 3A waktu berhentinya dia sudah tidak mau mengerjakan semua PR kumonnya & akhirnya aku ambil cuti maksudnya supaya 3 bulan lagi anakku sudah mau ikut lagi ternyata anakku tetap tidak mau ikut. Akhirnya anakku ikut Sempoa. Untuk anakku yang ke 2 sebetulnya lebih rajin ketimbang yang pertama tapi sekitar 3 bulan yang lalu guru yang biasa megang anakku berhenti, mulailah anakku setiap pergi ke Kumon menangis terus dan tidak pernah mau les, jadi setiap kali cuma ambil PR. Dan yang alasan utama yang menyebabkan aku memberhentikan anakku yang kedua: anakku baru di level 4 sedangkan anakku sudah minta penjumlahan, di Kumon anak dari level 4A tidak boleh loncat level 4A, karena takut keburu surut semangatnya adiknya aku masukan ke Sempoa juga. Kalau boleh sharing sedikit menurut pendapat saya karena semua les tersebut masing-masing punya nilai positif & negatifnya saya pribadi mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Jika memang ingin mengasah kemampuan si kecil 2 1/2 th - 4 th bisa ikut Kumon ( agar anak tersebut mengerti urutan bilangan, & mengenal angka sampai ratusan).
4th - 9 th bisa ikut Sempoa ( karena sudah mengenal angka tinggal diasah kemampuan berhitungnya)
6 th - 12 th Bisa melanjutkan ke Sakamoto.
12 th keatas baru konsentarsi di Kumon ( karena dengan skill yang sudah di dapat dari sempoa & sakamoto bisa memulai Kumon dengan level
yang lebih tinggi [Patr]

Mbak aku share yang sempoa ya, yang kumon aku kurang mengerti. Sempoa untuk anak yang baru belajar baca/tulis, bisa. Karena dasarnya dia diajarkan "manajemen mikir" artinya sebelum kita mengitung apa dulu, dan jika diperhatikan caranya mereka lebih menekankan ke daya ingat baru ke tulis-menulis. Jadi anaknya ke-latih pelan-pelan. Yang diajari : Pengenalan pakai menyanyi dan gerakan tangan untuk sempoa, "brain gym" nah, aku tidak hafal gerakannya, panjang dan lama jadi aku harus ikut les) intinya si anak biar tidak jenuh jadi ada pemanasan ceritanya, terus latihan menulis pakai waktu istilahnya "speed writing", terus flascard gunanya untuk memory anak dan daya tangkap. Terus ada dengar hitung alias seperti soal didikte terus si anak nulis hasilnya dibuku (tapi sistemnya membuat anak berpikir dulu baru menulis, dan itu cepat). Posisi duduk, posisi tangan (kiri pegang sempoa, kanan pegang pensil), posisi buku dimeja, mendisiplinkan anak jadi biasa belajar di meja. Nah jika si anak sudah paham sekali,
diajarkan bayangan, artinya menghitung tanpa sempoa. Anakku 4 tahun, TK A, ikut sempoa sudah 5 bulan. Dan aku tidak mau rugi kalah set, aku belajar juga (beli bukunya). Dan lumayan banyak diajari anakku, lagu-lagu, hitung-hitung. Ya intinya jika dia bertanya aku bisa menerangkan, kecuali brain gym harus tanya-tanya sama gurunya dulu. Tidak rugi, benar. Tapi emang gimana anaknya. Dulu waktu awal masuk teman sekelas anakku (yang umur 4 tahun-an) ada 6 orang yang ikut, sekarang tinggal anakku saja yang umur 4 tahun yang bertahan di tingkatnya, sisanya yang masuk kelas les itu anak kelas B. Aku sendiri tidak memaksakan terserah anaknya, jika malas ya tidak les, jika mau ya ayo, aku ikuti. Sampai saat ini dia enjoy saja. Malah dia minta diajari hitungan ribuan (padahal baru masuk puluhan, dan teknik adik/kakak), dan dia bisa mengitung ribuan. Jadi balik lagi ke anaknya [Em]

Mbak, anakku dulu waktu TK B pernah aku ikuti free trial kumon yang 2 minggu itu, dia senang sekali, tapi ketika mau didaftar benar, dia tidak mau, capek katanya. Terus waktu di kelas 1 kemarin aku coba lagi, bersama-sama adiknya, jawabannya masih sama, capek Mah, lama keluhnya, tapi kalau adiknya malah senang, minta ikut. Sesudah diskusi sama suami, akhirnya tidak jadi diikutkan kumon, alasannya:

- standar kumon, mundur sekitar 3 level, maksudnya dari hasil tes, anakku yang sudah kelas 1 SD, harus belajar dari cara menulis angka lagi, yang menghubungkan pakai titik-titik itu, yaa pelajaran tingkat TK A sepertinya. Karena katanya prinsip Kumon itu membiasakan anak benar-benar mengerti dan hafal sehingga nantinya bisa cepat sekali berhitungnya, jadi satu materi diulang-ulang terus, tiap hari ada tugas yang harus dikerjakan di rumah, dicatat waktu kerjanya.
- biaya kursusnya mahal sekali buat kami, pendaftaran kalau tidak salah Rp 250.000,-, terus bulanannya Rp 276.000,-, terus kata customer servicenya, kalau ikut kumon, minimal 1 tahun baru kelihatan perubahannya, dan kalau ikut dari SD, hasilnya baru terasa nanti waktu SMP (cmiiw)
- kursus di Kumon anak dan orang tua harus aktif, disiplin, kalau tidak akan cepat bosen, karena mengerjakan soal yang itu-itu saja, dan banyak
- materi Kumon hanya matematika dan sedikit bahasa inggris

Jadi, kita timbang-timbang lagi, dengan biaya yang sama, lebih baik memanggil guru privat ke rumah, bisa dapat lebih banyak materi (matematika, ipa, ips, bahas inggris), tambahan lagi, Alhamdulillah anakku masih masuk 10 besar di kelasnya, jadi kita pikir, biarlah sampai kelas 4 nanti dia puas-puasin main semaunya dia dulu, tidak usah terlalu dibebani sama kursus-kursus tambahan, nanti kalau anaknya sudah mantap kemana minatnya, sudah bisa disiplin, baru kita dukung dan arahkan. Eh, maaf kalau ada yang tidak sepaham, preferensi orang kan lain-lain ya [Dy]
View Post
Sumber: ibu ibu DI

Tanya
Aku lagi agak ragu nich. Belakangan ini anakku kalau main sama temannya suka pulang ke rumah dan menangis. Pertama karena dipukul perutnya sama temannya, kemarin ini karena kepalanya kena batu, aku sendiri tidak melihat kejadiannya, intinya dia mengadu kalau dilempar batu, kayaknya sich batu kecil dan mungkin tidak sengaja kali ya, kurang jelas bagaimana. Tapi yang aku bingung, cepat atau lambat dia khan akan bergaul sendiri, jauh dari rumah, dan mungkin sekali dua kali akan bentrok dengan temannya seperti sekarang ini. Nah, aku lagi mempertimbangkan, anakku ini aku suruh melawan temannya atau aku suruh mengalah ya? aku mikirnya kalau aku bilang yang intinya dia memukul balik atau melawan temannya, nantinya malah jadi berkelahi beneran, aku takut anakku nanti jadi agresif, bandel atau sok jagoan. Tapi kalau aku suruh mengalah, nanti keterusan sampai besar tidak bisa `berantem` dan bisanya cuma pulang ke rumah menangis, khan kurang bagus juga. Enaknya bagaimana ya, kalau aku ajak bicara baik-baik, rasanya susah juga memilih bahasa yang mudah dimengerti dia. Sekarang ini sich aku cuma bilang ke dia, kalau temannya memukul, jangan menangis, kasih tahu kalau itu sakit, kalau perlu `tepak` tangannya saja, tapi pelan. Tapi aku tidak tahu apakah dia mengerti dan apakah cara itu efektif.(Mi)

Jawab
Aku mengalami sendiri hal seperti itu, kemudian anaknya aku tanya baik-baik atau aku diam-diam mengintip di sekolah tanpa sepengetahuan si anak. Hal ini lebih aman,karena kita jadi mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.(In)

Anakku dulu juga suka dipukul oleh teman cowoknya sampai dia tidak mau sekolah. Pertamanya aku suruh dia bilang ke gurunya tapi masih saja suka dipukul, kemudian aku telpon gurunya,tapi tetap tidak berhasil juga. Kemudian aku bilang ke anakku, "kalau anak itu memukul, balas saja. Kalau tidak bisa memukul, kamu dorong saja. Tapi kalau anak itu tidak nakal tidak boleh memukul atau mendorong". Dan ternyata manjur, anak itu tidak pernah mengganggu anakku lagi, malah kaget karena ada yang berani ke dia.(Ni)

Kalau anakku, aku suruh teriak 'stop' atau 'no' yang keras, biar gurunya dengar. Soalnya kadang-kadang gurunya kan tidak melihat awalnya, nanti kalau anak kita membalas, dikiranya anak kita yang memulai. Sekarang mulai aku ajar untuk galak sama anak laki-laki. Di les berenangnya kemarin, ada anak cowok bandel. Dia suka mengganggu anak-anak perempuan. Jadi tiap anak perempuan dia cipratin air. Guru renangnya juga sudah bosan mengingatkan. Ibunya ada di pinggir kolam, cuma senyam-senyum saja. So, sekarang anakku aku ajarin galak ke anak cowok yang bandel itu. Kalau satu dua kali dikasih tahu tidak bisa, galakin saja. Teriakin! Tapi jangan sesekali membalas. Soalnya kalau satu membalas, nanti jadi berkelahi! Kemudian setiap pulang sekolah, ditanyakan bagaimana ceritanya disekolah. Kalau ada apa-apa, langsung lapor ke gurunya. Tidak masalah kok sering-sering lapor ke gurunya. Kalau di sekolahnya memungkinkan untuk mengamati anakmu tanpa keliatan si anak ( di sekolah anakku ada booth khusus untuk tempat pengamatan), kamu sering-sering saja tongkrongin.(nik)

Anakku belum mulai sekolah sich, ini dipukul oleh teman mainnya. Padahal anaknya lebih kecil. Mungkin memang dasar anakku cengeng kali ya, dan memang aku belum pernah ajarkan atau terang-terangan menyuruh dia membalas atau bagaimana, selama ini memang mainnya selalu sama adiknya dan dia yang jadi jagoan. Nah sekarang, ntah bagaimana, temannya ini kok aku perhatiin mulai rada 'nakal' gitu. Aku pikir, bagaimana dia sekolah, kalau main di rumah saja sedikit- sedikit menangis. (Mi)

Memang kalau bisa anak diajarkan untuk mengemukakan ketidakpuasannya terhadap sesuatu secara verbal daripada secara physical. Di sekolah anakku hal ini sangat ditekankan. Anakky 6,5 th, dulu masih sangat physical. Kalau tidak suka adiknya langsung ditonjok atau dipukul.
Tapi di sekolahnya diajarkan `how to verbalize your feelings`. Baik itu feeling negatif maupun feeling positif. Jadi kalau dia mendapat suatu keadaan yang tidak enak dari temannya (misal: dipukul) maka yang pertama dilakukan adalah mengatakan kalau dia tidak suka dipukul (misalnya dengan berkata:"jangan pukul aku, sakit", don't punch me, that hurts, stop it, dll) dan bukan malah membalas memukul. Memang perlu waktu hingga anak-anak terlatih untuk bisa mengungkapkannya secara verbal. Anakku sekarang jauh berubah dengan dilatih seperti ini. Paling kalau dia sudah tidak tahan, dia pukul juga adiknya karena adikknya memukul dia terlebih dahulu. Kemudian dia bilang ke aku, `I already said stop it bu"!. Paling tidak dia berlatih untuk menahan dulu keinginannya untuk mengungkapkannya secara fisik, baru kalau sudah tidak mempan dia terpaksa menggunakan `physical force`. Tapi lama kelamaan mereka akan terbiasa dan tidak mudah main pukul begitu saja. Untuk positive feeling juga begitu. Kalau dia dibiasakan untuk mengungkapkan betapa senangnya dia hari ini karena dibelikan mainan baru, atau diajak ke Sea World, maka si anak juga akan terbiasa mengapresiasikan perasaan orang lain. Hal ini tentunya tergantung kita untuk rajin-rajin melatih dan menstimulasi. "Bagaimana tadi di sekolah, senang?, Senang tidak tadi menonton bioskopnya"? Let them verbalize their feelings and they would get accustomed to understand other people's feelings.(ind)

Aduuh senengnya yach kalau anak kita sudah berhasil mengungkapkan perasaannya secara verbal. Anakku (cowok) termasuk salah satu yang
sering tidak bisa berbuat apa-apa bila diperlakukan tidak adil, dan karena dia sangat sensitif mungkin hal yang bagi anak lain biasa saja, bagi dia sudah luar biasa, pelariannya dia menanggis. Aku tidak pernah meminta dia membalas memukul atau juga berlaku tidak fair ke teman atau orang lain untuk perlawanan pertama, kecuali kalau sudah diperingati teman tersebut tidak mau mengerti aku minta dia bilang ke gurunya, kalau masih juga belum selesai, dengan terpaksa dia harus bertahan atau melawan aku bolehkan. Aku selalu ingatkan untuk memberitahu atau mengekspresikan kalau dia tidak suka. Pernah di sekolah pak guru meminta anak-anak untuk duduk rapi dan bergilir dipanggil, karena heboh, anakku terlewat dan tidak dipanggil, padahal dari awal dia sudah duduk dengan rapi dan diam. Akhirnya dia menangis karena dia kesal dan merasa diperlakukan tidak adil oleh pak guru. 2 minggu pertama di sekolah (kelas 1 sd) dia menangis setiap hari. Aku berusaha terus mengajak dia mengekspresikan perasaannya, kalau untuk yang positif dia sudah bisa bahkan sangat suka menyenangkan orang lain, bilang terimakasih hadiahnya bagus sekali, kuenya enak, bahkan dia tidak tega kalau aku kecewa dengan sikapnya, dia akan buru-buru meminta maaf dan minta bundanya senyum, tapi untuk yang negatif sampai saat ini (usia 5,10) belum terlalu kelihatan hasilnya.(Ren)

Membiasakan anak-anak untuk mengungkapkan perasaannya, tidak harus (atau tidak hanya) di sekolah saja. Bisa diawali sejak di rumah. Yang namanya anak-anak, pasti suka rewel, kemudian menangis atau diam saja, tidka mau bicara, cuma huh-huh. Nah, kalau anakku lagi begitu, aku selalu bilang, bicara `donk`, use your words please. Meski pun kadang-kadang aku tahu apa yang dia mau, tapi kalau dia tidak mau bilang dan cuma merengek, aku diamkan saja. Memang sepertinya kejam ya, tapi, baiknya buat mereka, belajar bicara yang betul. Selain biar manner-nya baik dan juga mengajarkan keterbukaan dengan anak. Anakku yang besar, perempuan, kan sensitif sekali. Pernah di sekolah, lagi acara parent's party, ada orangtua murid yang memarahi anakku. (Si Ibu ini orang poland, memang agak nyentrik orangnya, anak orang dia marah-marahin). Anakku jadi menangis tidak keruan. Sampai guru-gurunya bingung, karena anakku ini selalu manis di sekolah, tidak pernah menangis seperti itu.Menurut guru-guru disitu, cara bicara si Ibu itu yang salah. Harusnya, kalau ada apa- apa, sebagai orang dewasa kita mesti bicara baik-baik kepada anak- anak. Use our words. Jelaskan, jangan asal membentak dan memukul. Kemudian kalau memang anaknya nakal (bersalah), ya boleh saja dikasih hukuman, tapi jangan sesekali main fisik. Suruh saja masuk ke kamarnya 15 menit, atau tidak boleh main lagi sementara (kasih time out), atau tidak boleh menonton tv. Dll. Pokoknya kasih hukuman yang bergunalah. Seperti misalnya anakku pernah oret-oret tembok, ya aku suruh bersihin sendiri. :) Memang tidak bersih, tapi dia jadi tahu, menggosok tembok itu bikin capek. Ya begitulah. So, always use your wodrs.(nik)

Senangnya anak bisa mengungkapkan secara verbal. Tapi walaupun anakku tidak bisa mengungkapkan secara verbal aku merasa Tuhan selalu kasih jalan untuk menjaga dia. Kejadiannya kemarin, menurut anak tetangga yang setiap hari bareng anakku, kemarin anakku ditusuk- tusuk pakai pensil sama salah seorang anak disekolah karena anakku mengambil air minum kepunyaannya. Anakku cuma diam tidak bisa melawan, tapi teman-temannya langsung menghampiri si anak dan bilang "do you know how painful it is? You may not hurt Jogi, if he took your water, you can tell the teacher or the principal" Aku terharu sekali sama anak-anak itu, mereka membela Jogi dengan cara yang bener-bener luar biasa. Aku setuju, lebih baik mereka mengemukakan ketidaksukaannya secara verbal daripada balas melakukan hal yang sama. (dum)

Kebalikan sama anakku. Anakku ini ceriwis sekali. Kalau lagi protes bisa panjang dan lama ngomelnya. Sekali waktu dia `ngomelin' tetangga sebelah rumah yang suka parkir mobil seenaknya. Dan pas anakku pulang sekolah, mau turun dari mobil, dia langsung cas-cis- cus,"Om A ini gimana sih, baru saja kemaren dibilangin, sekarang udah begini lagi. Aku jadi tidak bisa masuk rumah nih..." dan bla- bla-bla.Tapi manjur juga, besok-besoknya si tetangga parkir di carportnya:-) (Ri).

Ini nasehat, sebenarnya tidak terlalu bijaksana. Anakku aku ajar untuk melawan segala bentuk kekerasan, tapi dalam konteks membela diri. Tapi tidak boleh memulai kekerasan. Artinya kalau dia dipukul temannya, dia harus balas memukul kalau temannya tidak bisa menjelaskan mengapa dia harus dipukul. Tapi dia boleh memulai perkelahian apabila bermaksud membela temannya, apalagi kalau temannya perempuan dan anakku laki-laki, itu harus dibantu bela :-). Membela kehormatan perempuan adalah kewajiban buat anakku yang laki- laki. Kalau anakku perempuan, dia justru harus lebih berani lagi melawan teman-teman yang berusaha menindasnya. Lawan saja sekuat tenaga, pokoknya tidak boleh menangis apalagi terlihat lemah, akan semakin membuat teman-temannya gemar menindas. Jadi anak perempuan tidak boleh lemah apalagi cuma bisa pasrah. Kalau anakku laki-laki, dia tidak boleh memukul perempuan, walaupun si perempuan memukul dia. Tapi ini justru anakku malah kelihatan sangat lembut hati dan suka menangis sedih (bahkan waktu menonton the ugly duckling, bisa- bisanya dia `mewek` nahan tangis sedih waktu si ugly duckling ini pergi dari sarang bebek karena diejek). Kalau rebutan mainan sama temannya juga dia pasti mengalah dan tidak suka memaksa. Kadang aku geregetan juga melihat anakku mengalah terus,tapi aku biarkan saja. (Fer)

Anakku juga lembut hati dan berperasaan halus. Seperti kemarin,dia di sekolah menangis sampai muntah karena melihat temannya dimarahi shabis-habisan oleh susternya. Dan dia tidak suka menyaksikan acara di TV yang penuh kekerasan (tembak-tembakan, pukul-pukulan, dst). Kalau ada acara macam itu, pasti dia lari ke kamar. Sempat juga waktu menyanyi di kelas sambil memukul meja, dia juga nangis. Aku jadi bingung. Anakku itu cengeng atau berperasaan halus ya? Sebab kalau dia dipukul temannya tidak menangis (meski malamnya laporan ke aku). (Q)

Mungkin hanya sensitif saja kali, seperti anakku pagi ini aku diceritakan ibu gurunya katanya sehari menangis sampai 3 kali karena dibilang comberan sama salah satu temannya sampai anakku tanya ke ibu gurunya apa arti comberan itu.(An)
View Post

Bagi sebagian kita yang punya masalah seputar rendahnya kepercayaan-diri atau merasa telah kehilangan kepercayaan diri, mungkin Anda bisa menjadikan langkah-langkah berikut ini sebagai proses latihan:

  1. Menciptakan definisi diri positif.

    Steve Chandler mengatakan, “Cara terbaik untuk mengubah sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu.” Bagaimana menciptkan definisi diri positif. Di antara cara yang bisa kita lakukan adalah:

    1. Membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri / membuat opini yang positif tentang diri sendiri. Positif di sini artinya yang bisa mendorong atau yang bisa membangun, bukan yang merusak atau yang menghancurkan.
    2. Belajar melihat bagian-bagian positif / kelebihan / kekuatan yang kita miliki
    3. Membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa kita lakukan, dari mulai yang paling kecil dan dari mulai yang bisa kita lakukan hari ini.
    4. Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan opini diri negatif yang muncul, seperti misalnya saya tidak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tidak berharga, saya hanya beban masyarakat, dan seterusnya. Setelah kita menghentikan, tugas kita adalah menggantinya dengan yang positif, konstruktif dan motivatif. Ini hanya syarat awal dan tidak cukup untuk membangun kepercayaan diri.

  2. Memperjuangkan keinginan yang positif

    Selanjutnya adalah merumuskan program / agenda perbaikan diri. Ini bisa berbentuk misalnya memiliki target baru yang hendak kita wujudkan atau merumuskan langkah-langkah positif yang hendak kita lakukan. Entah itu besar atau kecil, intinya harus ada perubahan atau peningkatan ke arah yang lebih positif. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita wujudkan, semakin kuatlah pede kita. Kita perlu ingat bahwa pada akhirnya kita hanya akan menjadi lebih baik dengan cara melakukan sesuatu yang baik buat kita. Titik. Tidak ada yang bisa mengganti prinsip ini.

  3. Mengatasi masalah secara positif

    Pede juga bisa diperkuat dengan cara memberikan bukti kepada diri sendiri bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa kita. Semakin banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah pede. Lama kelamaan kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah. Karena itu ada yang mengingatkan, begitu kita sudah terbiasa menggunakan jurus pasrah atau kalah, ini nanti akan menjadi kebiasaan yang membuat kita seringkali bermasalah.

  4. Memiliki dasar keputusan yang positif

    Kalau dibaca dari praktek hidup secara keseluruhan, memang tidak ada orang yang selalu yakin atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau dalam mewujudkan keinginan. Orang yang sekelas Mahatma Gandhi saja sempat goyah ketika tiba-tiba realitas berubah secara tak terduga-duga. Tapi, Gandhi punya cara yang bisa kita tiru: “Ketika saya putus asa maka saya selalu ingat bahwa sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada beberapa tirani dan pembunuhan yang sepintas sepertinya menang tetapi akhirnya kalah. Pikirkan ucapan saya ini, SELALU”. Artinya, kepercayaan Gandhi tumbuh lagi setelah mengingat bahwa langkahnya sudah dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

  5. Memiliki model / teladan yang positif

    Yang penting lagi adalah menemukan orang lain yang bisa kita contoh dari sisi kepercayaan dirinya. Ini memang menuntut kita untuk sering-sering membuka mata melihat orang lain yang lebih bagus dari kita lalu menjadikannya sebagai pelajaran. Saking pentingnya peranan orang lain ini, ada yang mengatakan bahwa kita bisa memperbaiki diri dari dua hal: a) pengalaman pribadi (life experiencing) dan b) duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain). Buktikan! Selamat mencoba.

View Post


Si Kecil Mengalami Kesulitan Belajar?

Kesulitan belajar berpengaruh besar pada kehidupan seseorang. Studi mengungkapkan penanganan dini dan intensif membantu meringankan masalahnya. Cermati tanda-tandanya
pada anak Anda agar segera tertangani.

Setiap anak tumbuh dan berkembang berbeda-beda. Ada yang cepat menangkap informasi, ada yang lambat. Ketika stimulasi tak mampu membantu anak mengatasi kesulitan belajar atau learning difficulties/disabilities (LD), Anda perlu waspada! Sebab, di negara maju, ditemukan gangguan kesulitan belajar mengintai 5 – 15 persen anak dari jumlah populasi.

Terkadang tak terdeteksi

Pada awalnya, sebut saja Sendi, tak mengira masalah yang dihadapinya berkenaan dengan disleksia (salah satu gangguan dalam LD , lihat boks : . Beberapa Gangguan dalam Kesulitan Belajar). Sampai suatu saat ia disadarkan oleh teman-teman kerjanya bahwa selalu saja yang ia ungkapkan atau ekspresikan berbeda dibanding informasi (baik tertulis maupun lisan) yang seharusnya ia tangkap.

Sejak kecil Sendi memang sering ‘tidak nyambung’ dengan pelajaran yang ia peroleh dari guru. Tetapi karena tekun dan diarahkan orang tua, ia bisa mengejar pelajaran. Sampai akhirnya Sendi pun lulus kuliah dengan nilai baik, dan bekerja di sebuah lembaga nirlaba asing dengan perkembangan karir di atas rata-rata. Meski masalah demi masalah berhasil diatasinya, tanda tanya itu tetap belum terjawab, “Apa yang salah dengan diri saya?”.

Masalah yang dihadapi Sendi memang terbilang tidak terlalu parah. Seperti beberapa pesohor dunia sukses macam Tom Cruise, Whoopy Goldberg, Tommy Hilfiger dan beberapa CEO dunia yang sukses. Mereka mengalami masa-masa sulit dalam beberapa tonggak kehidupan mereka. Namun beruntung mereka tak lantas putus harapan. Namun demikian, tak banyak yang seberuntung mereka.

Berdasarkan studi, sekitar 5 – 15 persen anak dari jumlah populasi Amerika Serikat menyandang LD. Kurang lebih sama seperti ditemukan di negara-negara Eropa, seperti di Inggris atau Jerman. Tak ada yang tahu persis, berapa jumlah anak-anak yang menyandang kesulitan belajar di Indonesia sampai saat ini. Diperkirakan persentasenya kurang lebih sama. Bedanya, orang tua dan sekolah di negara-negara lain (terutama negara maju), memiliki kebijakan memberikan penanganan khusus untuk mengatasi masalah kesulitan belajar. Akibatnya, tak sedikit yang tak terdeteksi dini bahkan memperoleh salah penanganan.

LD = ‘korslet’ di otak

Menurut psikolog yang aktif memberi konseling di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-UI), Indri Savitri, psi , umumnya penyandang LD mengalami ‘penyimpangan’, antara informasi yang diterima dan output (keluaran) berbeda, “Sepintas anak-anak LD sebagaimana manusia seutuhnya, tak beda dengan anak-anak lain. Tetapi saat menerima informasi dan kemudian mau melakukan tindakan (misalnya, menulis, mengucapkan atau melakukan gerakan) tiba-tiba terjadi ‘korslet’. Hasilnya, istilahnya ‘tidak nyambung’,” jelas konsultan perkumpulan orang tua anak-anak LD dari sejumlah sekolah di Jakarta.

Dr. Dwi Putro, Sp.A (K), Mmed , di Divisi Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Ciptomangun Kusumo melihat gangguan kesulitan belajar sebagai sesuatu yang sangat luas. “Ada anak yang mengalami gangguan konsentrasi ( ADD/ADHD ) sehingga mengalami LD . Ada juga anak yang mengalami disleksia saja, misalnya, dan gejalanya tidak terlihat karena bersifat ringan,” ungkap staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Itu sebabnya, secara medis, pemeriksaan disleksia murni misalnya, sedikit lebih sulit dan harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Sementara bagi anak-anak LD dengan dasar ADHD , ada semacam standar penanganan yang berdiri sendiri. Sebab, ADHD sudah merupakan sebuah gangguan yang spesifik. Itu sebabnya, seringkali ADHD dan LD bersanding erat.

Secara organ, dr. Dwi Putro mengungkapkan bahwa pada anak-anak LD didasari oleh ADHD, terdapat bagian spesifik di otak yang membutuhkan penanganan medis. Sementara pada otak anak-anak yang disleksia murni tidak terlacak adanya gangguan di bagian tertentu. “Itu sebabnya, penting melakukan pemeriksaan dini sehingga diperoleh klarifikasi, jenis kesulitan belajar yang disandang anak. Dengan penanganan tepat, deteksi dini dan ketekunan berlatih, gangguan anak-anak penyandang LD dapat diringankan,” jelas dr. Dwi Putro.

Serba segera

Memang tak mudah mendeteksi adanya gangguan LD pada anak. Sebab, diantara para ahli juga masih terdapat perdebatan dalam hal definisi. “Yang jelas, ketika kecurigaan muncul, orang tua dapat membawa anaknya ke psikolog, psikiater atau neurolog anak,” jelas Indri.

Di Indonesia, hubungan antar ahli bersifat saling merujuk. Artinya, ketika orang tua datang ke dokter dan menjalani pemeriksaan, biasanya dokter kemudian merujuk ke psikolog dan terapis (jika diperlukan). Kemudian psikolog akan merujuk ke ahli pendidikan atau guru. Oleh masing-masing ahli, si kecil juga menjalankan sejumlah pemeriksaan dan ini kerap membuat orang tua frustrasi.

“Meskipun kerap membuat orang tua frustrasi, kenyataannya memang si kecil harus menjalani serangkaian tes pemeriksaan, termasuk assesment (tes pengukuran) ketika akan bersekolah di sekolah khusus,” ujar Indri.

Ciri LD atau tanda yang harus diwaspadai orang tua dapat ditemukan pada si prasekolah (Lihat boks: Ciri-Ciri yang Harus Diwaspadai ). Namun, pada beberapa anak yang cukup ‘pandai’, LD bisa saja tak terdeteksi hingga si kecil duduk di kelas 5 atau 6.

Pengetahuan orang tua secara umum tentang LD juga menjadi salah satu kunci agar anak memperoleh penanganan dini dan tepat. Yang dialami Maria Christy Althea (6,5 tahun) dapat dijadikan pelajaran. Pada usia 3,5 tahun, Christy dinilai ibunya, Lily Indah Sujati (41 tahun), sebagai anak yang tidak dapat mengurutkan angka dari 1 sampai 10. Lily berupaya memberikan stimulasi dengan latihan. Beranjak dari TK ke SD, kesulitan Christy mengenal abjad, angka dan membaca tak kunjung membaik. Bahkan di kelas ia kemudian dicap teman-temannya sebagai “si bodoh”, karena ia selalu tertinggal jauh dibanding teman-temannya dalam mengerjakan tugas.

“Awalnya, saya menduga anak saya bodoh dan tidak mampu belajar. Tetapi mengapa tes IQ menunjukkan skor tinggi (Skala Wechsler= 132) dan cukup cerdas? Pada akhirnya seorang psikolog merujuk Christy ke Bimbingan Remedial Terpadu (BRT), dari situ barulah saya tahu ia menyandang LD ,” jelas Lily.

Sejak itulah cara pandang Lily pada Christy berubah. Namun sayang Christy sudah memandang dirinya bodoh, sebagaimana cap yang dilekatkan oleh lingkungannya sehingga ia butuh terapi emosi agar rasa percaya dirinya bangkit dan konsepnya menjadi positif.

Tak berdiri sendiri

Ada sebuah kerumitan tersendiri ketika kita berusaha memahami gangguan kesulitan belajar. Demikian pula bagi para ahli sebagaimana diungkapkan dr. Dwi Putro di awal tulisan.

Sebagai contoh, Muhammad Fauzan (7 tahun) yang menyandang gangguan keterampilan motorik halus (yang penting untuk menunjang kegiatan menulis dan menyandang gangguan konsentrasi). Fauzan akhirnya harus menjalani terapi sensori integrasi untuk menguatkan otot-otot tangan dan jari, disamping latihan konsentrasi karena ia ternyata juga menyandang ADHD.

Dengan deteksi dini sejak usia batita, ia segera mendapat penanganan ahli, menjalani terapi dan masuk ke sekolah khusus Yayasan Pantara. Hasilnya, Fauzan mencapai kemajuan pesat.

“Anak-anak yang menyadang LD , biasanya memiliki IQ sangat tinggi. Mereka cerdas di atas anak rata-rata dan berbakat. Tetapi mereka biasanya mentok dalam urusan akademik, kecuali mendapat pendekatan yang tepat seperti dilakukan oleh sekolah khusus, atau sekolah umum yang peduli dengan anak-anak LD ,” ungkap Indri.

Di Amerika Serikat, misalnya, ada beberapa lembaga yang berupaya mengatasi masalah kesulitan belajar, seperti The National Center for Learning Disabilities. Di Indonesia, meskipun tidak besar, ada beberapa sekolah umum yang mendirikan perkumpulan orang tua dari anak-anak LD sebagaimana yang bekerja sama dengan LPT- UI selama ini.

Menurut Indri, penyandang LD butuh bimbingan khusus dan ditempatkan di kelas dengan murid terbatas. Misalnya, 9 – 10 murid dengan 3 orang guru plus seorang psikolog seperti di sekolah Fauzan. Jangan juga terlalu mem- push , jika anak tak berhasil juga mengatasi hambatannya dalam belajar.

“Ajaklah anak untuk berusaha bersama, misalnya, “Nak, tadi Bu guru bilang kamu harus banyak latihan menulis, yuk, kita lakukan sama-sama”. Kunci keberhasilan anak-anak LD adalah dukungan keluarga. Keluarga, terutama orang tua harus peka, memberikan penerimaan yang baik terhadap anak LD dan memilih ahli serta sekolah yang tepat. Ini menentukan konsep diri yang positif,” Indri menyarankan.

Tentu saja ini berarti, orang tua dan dunia pendidikan harus mendefinisikan ulang istilah “sukses” bagi anak-anak LD . Sukses tak berarti berhasil dalam urusan akademis semata. Sukses justru berawal dari keberhasilan membidik dan mengarahkan bakat unik anak.

Andi Maerzyda A. D. Th.(ayahbunda)
View Post
Perkembangan fisik si 5 tahun yang semakin matang memungkinkan ia belajar dasar-dasar berlalu lintas. Apa sajakah itu dan bagaimana mengajarkannya?

Disamping karena koordinasi gerak tubuhnya lebih baik, rentang perhatian semakin panjang, perkembangan fisik si 5 tahun pun semakin matang. Di masa ini anak biasanya lebih aktif bersosialisasi dan beraktivitas fisik dibanding masa sebelumnya. Bersepeda atau bermain otopet adalah salah satu kegemaran anak-anak usia ini. Manfaatkan kegiatan bermain si 5 tahun ini untuk belajar berlalu-lintas.

Hindari jalan raya

Ketika si kecil sudah mahir mengayuh, mendorong dengan kaki dan mengendalikan laju sepeda roda tiganya atau sepeda roda dua plus dua roda kecil penopangnya, atau in-line skate -nya, dapat dipastikan perkembangan fisiknya cukup matang untuk diajarkan dasar-dasar berlalu lintas. Dasar-dasar berlalu-lintas yang dapat Anda ajarkan, antara lain: mengendalikan laju sepeda, melihat ke kiri dan kanan saat hendak menyeberang, memberi tanda saat berbelok, atau memberi jalan pada teman yang akan lewat atau melewatinya.

Namun menurut Petra Schrand , psikolog dan kontributor tetap majalah Eltern di Jerman, tidak disarankan orang tua untuk membiarkan anak bermain di jalan yang dilalui kendaraan, walau hanya sesekali dilewati. Walaupun, tentu, ada pengecualian, yaitu bila Anda yakin jalan tersebut buntu dan tak dapat dilalui kendaraan. Ini karena indera pendengaran dan penglihatan anak-anak prasekolah pada dasarnya belum berkembang sempurna. Sehingga, sulit menuntut balita bersikap waspada terhadap kendaraan yang akan lewat berdasarkan deru yang terdengar dari kejauhan.

Demikian pula, kemampuan penglihatan si 5 tahun pun masih sangat terbatas. Ini menyebabkan ia belum dapat menangkap secara visual kendaraan yang melaju ke arahnya dari kejauhan. Selain itu, karena anak berkonsentrasi penuh pada kegiatan yang sedang dilakukannya, maka berbagai kejadian yang terjadi di sekitarnya, baru disadarinya jika jaraknya sudah sangat dekat.

Perlu pengawasan

Andreas Bergmeier , penasehat bidang anak dan remaja pada Badan Keamanan Berkendara kota Bonn, Jerman, berpendapat bahwa untuk dapat berlalu-lintas dengan baik, anak harus terampil berkendara terlebih dahulu. Seperti, terampil mengayuh sepeda atau otopet, juga mendorong dan melaju dengan in-line skate atau sepatu rodanya.

Dengan membiarkan anak bermain bersama teman-temannya yang juga menggunakan sepeda, otopet atau mainan beroda lainnya, pengalaman anak semakin kaya. Biarkan anak berinteraksi dengan teman-temannya di bawah pengawasan Anda. Kegiatan bermain dengan bersepeda atau kendaraan beroda tetap menyimpan risiko tinggi bagi si kecil jika tanpa pengawasan orang dewasa. Biarkan pengalaman dan keterampilan si 5 tahun bertambah. Demikian pula kesabaran dan kemampuannya mengendalikan ego.

Apa yang perlu diajarkan

Ajarkan anak cara aman berbelok, memutar haluan atau menyeberang di antara teman yang naik sepeda, mobil mainan atau lainnya. Misalnya, dengan memberi tanda hendak ke kanan atau ke kiri. Demikian pula anak mesti mengurangi kecepatan saat hendak berbelok, sehingga tidak hilang keseimbangan atau terpental. Ajarkan juga anak untuk hati-hati menyeberang di antara teman-teman beserta kendaraannya.

Selain melatih koordinasi dan kewaspadaan, si 5 tahun biasanya akan menyadari pentingnya aturan dan kepatuhan para pengendara di tempat bermain. Sejalan dengan perkembangan dan pertambahan usia anak, Anda dapat meningkatkan keterampilan dan pelajaran berlalu-lintas si kecil ini lebih lanjut.

Andi Maerzyda A. D. Th. (ayahbunda)
View Post