Pendidikan anak dewasa ini semakin menjadi perhatian utama dan prioritas para orang tua. Ada beberapa penyebab : Kesadaran akan pentingnya “bersekolah” dan kesadaran akan arti “sekolah”, namun tidak jarang ada pula penyebab lain, yakni ingin menyerahkan beban pendidikan / tugas pendidikan ke sekolah (dan para pendidik) – entah karena memahami adanya “value added” di sekolah, atau karena frustrasi, sulit mengarahkan anaknya sendiri di rumah (jadi biar tidak pusing-pusing, anaknya di sekolahkan saja)…

Apapun alasan kita para orang tua dalam menyekolahkan anak, seyogyanya kita memahami prinsip bahwa : Keluarga adalah tempat pertama dan utama pendidikan seorang anak. Keluarga = sekolah plus. Selama ini, kita mencari sekolah plus, untuk bisa mengatasi “kekurangan” yang ada di rumah atau di dalam pola asuh kita terhadap anak. Namun, kita sering lupa, setelah kita memasukkan anak ke sekolah “plus”, kita tidak mempelajari dan mengambil “nilai plus-nya” untuk diterapkan di rumah. Akibatnya, di rumah tetap minus dan “plus”-nya tertinggal di sekolah.

Konsekuensi

Ketika musim sekolah telah berjalan, timbul beberapa kesulitan dan masalah – yang tanpa sadar merupakan dampak dari tertinggalnya nilai “plus” di sekolah.
Problem belajar
Problem motivasi
Problem perilaku
Problem emosional
Problem sosial
Problem nilai

Apa yang harus dilakukan?

Orang tua perlu mencari benang merah dan sinkronisasi beberapa hal yang utama, yang membantu anak mengembangkan hal-hal dasar dalam kepribadiannya. Sebagaimana orang tua memilih sekolah yang sesuai dengan orientasi nilai dan harapan mereka, begitu juga orang tua seyogyanya mengadaptasikan pola-pola pendidikan yang konstruktif dan positif dari sekolah. Paling tidak, di antara keduanya, saling mengisi – dan bukan saling meniadakan. Untuk itu lah, komunikasi orang tua dengan anak, dan komunikasi antara orang tua dengan pihak sekolah, menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kita tidak bisa bersikap “tahu beres” baik terhadap anak maupunn pihak sekolah.

Karena, ketika terjadi ketidakberesan, kita tidak bisa semata-mata menunjuk pihak sekolah sebagai “biang keladi” dari persoalan yang dihadapi anak. Bisa saja persoalan dimulai / terjadi di sekolah, namun kita harus melihatnya secara bijaksana, karena reaksi seorang anak terhadap sesuatu, sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dilaluinya dan pola asuh yang paling mendominasi bentukan sikap dan kepribadiannya.

Jadi, keluarga, adalah tempat utama pendidikan dan pengembangan seorang anak. Sekolah, pada dasarnya mengarahkan, memberikan bimbingan dan kerangka – bagi anak untuk belajar, bertumbuh dan berkembang. Sementara keluarga, justru menjadi center of education yang utama, pertama dan mendasar.
View Post
DI ERA globalisasi ini semua hal perlu dipersiapkan agar tidak tertinggal, termasuk membekali anak dengan pengetahuan-pengetahuan global demi masa depannya nanti.

Pengetahui semua negara-negara yang ada di dunia ini bisa menjadikan suatu pengetahuan untuk anak. Di mana hal tersebut menjadi salah satu bekal untuk menghadapi era globalisasi. "Mengajarkan anak tentang negara-negara yang ada di dunia ini memang sesuatu yang bagus, terutama untuk ke depannya nanti," tutur psikolog dari Universitas Tarumanagara Jakarta Henny E Wirawan M Hum Psi.

Dia mengatakan, mengenalkan anak pada negara-negara lain di dunia adalah hal yang bagus. "Mengenalkan pada negara tidak usah yang jauh-jauh dulu, cukup diawali dari negara tetangga, misalnya Singapura atau yang sekitar Asia saja juga tidak masalah," ujar Henny yang juga praktik di rumahnya di kawasan Grogol.

Henny melanjutkan, objek yang dijelaskan pada anak bisa dimulai dari apa yang terkenal dari negara tersebut. Misalnya objek pariwisata, budaya, atau warna bendera. Mengenalkan kepada anak pun bisa melalui berbagai media, seperti internet, televisi, atau majalah.

"Sebenarnya, dikenalkan bisa lewat apa saja, tetapi yang lebih bagus adalah dikenalkan melalui internet atau buku-buku. Yang pasti dikenalkan lewat gambar lebih bagus," ucapnya.

Cara mengenalkan pada anak, Henny menyebutkan, sebaiknya sambil bermain. Karena dengan bermain ini, anak-anak akan lebih cepat menyerapnya. Adapun umur yang optimal untuk mengenalkan negara-negara dunia pada rentang umur 4-5 tahun. "Di umur itu, anak sedang senang-senangnya bermain dan ingin tahu banyak. Selain itu, pada umur tersebut, anak-anak juga bisa menyerap lebih baik apa yang dipelajarinya," paparnya.

Ternyata ada manfaat kejiwaan yang didapatkan si anak dalam mempelajari dunia ini. Di antaranya, si anak jadi bisa lebih kreatif, wawasan bertambah luas, bangga karena mempunyai pengetahuan yang berbeda dibandingkan yang lain. "Anak yang berpengetahuan luas akan lebih bangga, kreatif, dan pintar. Selain itu, si anak juga mempunyai nilai tambah," kata Henny.

Berkeliling dunia memang impian semua orang, termasuk anak-anak. Dengan tujuan mengenal berbagai macam kebudayaan maupun kebiasaan yang dikenal dari berbagai negara pastinya menyenangkan.

Mempersiapkan anak untuk menghadapi era globalisasi, itulah yang menjadi tujuan digelarnya Morinaga Chil Kid dan Chil School Platinum. Salah satu produk dari Kalbe Nutritionals menggelar acara yang bersifat edukatif bagi anak-anak yang berakhir bulan lalu itu. "Anak-anak zaman sekarang harus dipersiapkan untuk menghadapi era globalisasi. Mereka harus siap menghadapi era tersebut. Salah satunya mengenalkan mereka dengan negara-negara yang ada di seluruh dunia," ucap Manager Product Group Morinaga, Heli Octaviana.

Acara tahunan bertajuk "The World of Platinum Generation" kali ini mengajak anak-anak berkeliling dunia mengenal budaya dan alam berbagai benua. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya mendukung secara nyata tumbuh kembang generasi platinum Indonesia sebagai aset bangsa yang bernilai. "Semua kegiatan yang berlangsung ini diselenggarakan dan dikemas untuk mengembangkan pola multiple intelligence (kecerdasan majemuk) yang dimiliki anak-anak generasi platinum Indonesia.
Di antaranya kecerdasan natural, matematis logis, olah tubuh, ruang dan bangun, bahasa dan sebagainya," ucap Heli.

Salah satu pengunjung yang juga menemani anaknya bermain ke arena Morinaga, Ny Reiana, mengaku senang ada acara seperti ini. "Anak saya senang bermain di sini, walaupun anak saya belum pernah keliling dunia, tapi dari adanya acara ini, saya bisa mengajak bermain sekaligus belajar mengenai apa yang khas dari negara-negara di dunia," tutur ibu dari putrinya yang berumur 4 tahun ini.
(sindo//tty)
View Post
Mengajak si satu tahun bereksplorasi di luar rumah, dengan kemampuannya berjalan yang belum sempurna, bikin repot dan mengkhawatirkan. Gunakan saja stroller! Ada kiatnya lho….

Keinginan anak usia satu tahunan untuk bereksplorasi kian meningkat. Bila ia sudah dapat berjalan, ia bisa berjalan terus karena ingin berinteraksi dengan sekitarnya. Agar tidak merambah wilayah-wilayah kotor di rumah, Anda melokalisir si kecil di satu tempat yang aman, dan memberinya mainan yang dapat membuatnya tenang. Tetapi, terlalu lama di dalam ruangan yang sama, anak bisa bosan.

Memanfaatkan stroller

Rasa ingin tahunya mendorong si satu tahun dengan kuat untuk mengembara. Membawanya ke luar rumah dengan kemampuan berjalannya yang belum sempurna bisa jadi membuat Anda khawatir ia terjatuh. Belum lagi, bila ia memungut benda-benda yang ditemuinya di jalan.

Memaksa anak terus-terusan ada di dalam rumah saja juga tak mudah. Apa yang dapat Anda lakukan agar si kecil aman dan Anda pun mudah mengontrol saat mengajaknya jalan-jalan ke luar rumah? Anda dapat menggunakan stroller untuk jalan-jalan di taman, bertemu teman sebaya dan lainnya. Ini pun sebetulnya tidak mudah, karena si kecil bisa cepat bosan juga duduk terus di stroller -nya. Keinginannya untuk berjalan dan terus berjalan memang sulit dibendung.

Duduk di stroller = pasif?

Meski di stroller, bukan berarti anak pasif. Berbagai hal dapat dilihat dan dipelajarinya. Namun dengan tidak dapat berjalan dan berkeliaran sendiri, bisa-bisa membuat anak frustrasi. Bila anak tampak mulai frustrasi di stroller -nya, beberapa hal dapat Anda lakukan sehingga kegiatan mengamati berbagai hal di sekeliling dengan terkendali ini tetap bisa dilakukan.

* Arahkan stroller ke tempat-tempat menarik . Ajak anak melihat, misalnya, kandang anjing atau kura-kura di kolam ikan milik tetangga.
* Alihkan perhatian . Tunjuk kapal terbang yang melintas di atas, mobil dengan warna yang mencolok atau bajaj berwarna cerah dan bersuara ‘seru’.
* Beri penghiburan . Sambil mendorong anak ke tempat-tempat yang menyenangkan, nyanyikan lagu-lagu berirama indah atau bercerita dengan kalimat menggunakan intonasi menarik.
* Bawa mainan . Siapkan mainan agar si satu tahun tetap asyik di stroller -nya. Apalagi saat ia tampak mulai bosan karena duduk terus.
* Beri pujian . Bila anak dapat duduk tenang selama jalan-jalan dengan stroller, beri ia pujian.
* Tetap di dekat anak . Anak merasa aman bila orang yang dipercayainya berada di dekatnya. Jangan berada jauh dari anak, karena ia akan merasa tidak aman, kemudian mencoba keluar dari stroller -nya.

Immanuella F. Rachmani
View Post
MEMBENTUK moral anak bisa dilakukan lewat story telling (dongeng). Kegiatan membaca dongeng dan berdiskusi antara orangtua dan anak ini dapat dilakukan di rumah.

Anak tentu saja menjadi anugerah terindah bagi setiap orangtua. Namun, ketika sang buah hati beranjak remaja atau dewasa, bisa jadi anak yang telah dibesarkan dan dididik sebaik mungkin, menjadi anak yang tidak mengerti nilai-nilai moral dalam kehidupan.

Kondisi tersebut tentu saja mengecewakan karena apa yang sejak dini ditanamkan, hilang begitu saja. Padahal, membentuk moral anak bisa dilakukan sejak dini, bahkan ketika anak memasuki tahun pertama usianya.

Hal tersebut terungkap dalam seminar pendidikan dan parenting bertajuk Education in the Changing World, di Kemang Village, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Hadir sebagai pembicara, Kepala Sekolah Pelita Harapan (SPH) Brian Cox M Ed dan Koordinator Sekolah SPH James T Riady.

Selain dua pembicara tersebut, seminar juga dihadiri oleh Pendiri Layanan Konseling Keluarga dan Karier Roswitha Ndraha, Sport and Arts Director Universitas Pelita Harapan Karawaci Stephen Metcalfe BA, dan Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan Parapak. Berbagai topik seminar diangkat dengan tujuan memberikan yang terbaik bagi anak-anak Indonesia.

Seperti diungkapkan James T Riady, yang membawakan makalah bertajuk Youth with a Vision. Dalam makalahnya, dia banyak menyinggung tentang perkembangan moral anak yang tidak saja didapatkan di sekolah.

"Pengetahuan yang tinggi, tidak menjamin seseorang bisa memiliki moral yang baik. Namun, ketika anak-anak memiliki moral yang baik, otomatis mereka bisa menilai mana pendidikan yang baik dan buruk," papar James. Peran orangtua dalam mempersiapkan anak-anak yang memiliki visi dan masa depan, menurut James, sangatlah penting. Lewat orangtua, anak-anak belajar segala sesuatu.

"Pendidikan formal berfungsi melatih anak-anak untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya. Sedangkan dengan pengetahuan moral, anak-anak diajak berpikir dan membangun etika dan karakter dirinya yang baik," tambah James dalam seminar yang diselenggarakan oleh Sekolah Harapan Kita itu.

Sedikit berbeda dengan James, peserta seminar yang juga pengajar di Jakarta, William Pakpahan mengatakan, pendidikan moral untuk anak-anak bisa dilakukan di rumah, bisa dengan membahas buku-buku cerita bersama orangtua, membaca kitab suci ataupun mendongeng.

"Saya memang seorang pengajar, namun saya tidak yakin di sekolah-sekolah formal anak bisa mendapatkan pendidikan moral yang benar-benar bisa menjamin anak kita menjadi anak yang baik," kata pengajar yang juga ayah tiga putra ini. Karena itu, lanjutnya, ketika berkumpul dengan anak-anak saya di rumah, saya menanamkan nilai-nilai moral dengan menceritakan kisah-kisah dalam kitab suci.

Menanamkan pendidikan moral untuk anak-anaknya juga dilakukan William dengan sesering mungkin mengajak anak-anaknya yang masih belia mengunjungi panti-panti asuhan, panti jompo, hingga memberikan sumbangan untuk anak-anak jalanan.

''Pernah suatu waktu anak saya bertanya, mengapa banyak anak kecil menyanyi di lampu merah. Setelah itu, untuk mengetuk hatinya dan menggugah rasa simpatinya, saya mengajak anak saya untuk melihat lebih dekat bagaimana anak-anak kecil itu mencari sesuap nasi," terangnya.

Mengajak anak langsung menyaksikan kejadian sehari-hari yang membuatnya trenyuh, ternyata sangat mengena di benak anak-anak William. "Sejak itu, mereka tidak pernah lagi membuang-buang nasi ketika makan," tutur William. Dari pengalaman tersebut, William berkesimpulan bahwa pendidikan moral harus bisa dipraktikkan pada anak-anak, dari rumah hingga di lingkungan sekitar, termasuk di jalanan.

Tahap Perkembangan Moral Anak

1. Perkembangan kuantitas menuju kualitas
Ketika anak mulai mengenal larangan orangtua, anak cenderung menilai dosa atau kesalahan berdasarkan besar-kecilnya akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Misalnya, anak menganggap bahwa menjatuhkan beberapa gelas secara tidak sengaja lebih besar dosanya daripada menjatuhkan satu gelas secara sengaja. Pada tahap awal perkembangan moral, anak tidak memperhitungkan unsur motivasi. Baru pada usia yang lebih besar, ia mulai memahami bahwa kualitas suatu perbuatan harus diperhitungkan dalam menilai benar-salah.

2. Ketaatan mutlak menuju inisiatif pribadi
Pada mulanya seorang anak akan menaati apa yang dikatakan orangtuanya. Inilah kesempatan terbaik orangtua untuk mengajarkan apa yang harus diajarkannya karena masa ini akan cepat berlalu. Setelah itu, anak akan lebih terikat dengan perjanjian-perjanjian. Pada tahap ini, anak akan bermain dengan peraturan yang dapat diubah sesuai perjanjian sebelumnya. Karena itu, teriakan ?'curang'' sewaktu anak bermain akan terdengar keras ketika peraturan bersama ini dilanggar. Anak juga sangat peka terhadap ketidakkonsistenan orangtua bila orangtua melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan yang diajarkannya. Bagi mereka, orangtua pun seharusnya terikat dengan peraturan yang mereka tetapkan bagi anak-anaknya. Bila perkembangan moral anak berjalan baik, pada usia remaja akhir anak telah memiliki prinsip moral yang menjadi miliknya pribadi dan yang mengarahkan tingkah lakunya. Anak tidak mudah lagi dipengaruhi lingkungannya. Sebaliknya, anak akan melakukan perbuatan berdasarkan prinsip moral yang dimilikinya.

3. Kepentingan diri menuju kepentingan orang lain
Tahap awal perkembangan moral anak adalah egosentris karena anak masih memusatkan perhatian pada dirinya. Tujuan suatu perbuatan adalah kesenangan pribadi dan kenikmatan. Bila perkembangan moral anak berjalan baik, barulah pada usia yang lebih dewasa, individu dapat melihat kepentingan orang lain dalam melakukan tindakan moralnya. Bukan itu saja, pengorbanan kepentingan diri dapat dilakukan demi kesejahteraan teman-teman sebayanya. Misalnya dengan membagi permen yang dimilikinya, ataupun mengajak teman-temannya untuk berbagi boneka kesayangan.� (sindo//mbs)
View Post