Anak Disuruh Berantem atau Mengalah?

Sumber: ibu ibu DI

Tanya
Aku lagi agak ragu nich. Belakangan ini anakku kalau main sama temannya suka pulang ke rumah dan menangis. Pertama karena dipukul perutnya sama temannya, kemarin ini karena kepalanya kena batu, aku sendiri tidak melihat kejadiannya, intinya dia mengadu kalau dilempar batu, kayaknya sich batu kecil dan mungkin tidak sengaja kali ya, kurang jelas bagaimana. Tapi yang aku bingung, cepat atau lambat dia khan akan bergaul sendiri, jauh dari rumah, dan mungkin sekali dua kali akan bentrok dengan temannya seperti sekarang ini. Nah, aku lagi mempertimbangkan, anakku ini aku suruh melawan temannya atau aku suruh mengalah ya? aku mikirnya kalau aku bilang yang intinya dia memukul balik atau melawan temannya, nantinya malah jadi berkelahi beneran, aku takut anakku nanti jadi agresif, bandel atau sok jagoan. Tapi kalau aku suruh mengalah, nanti keterusan sampai besar tidak bisa `berantem` dan bisanya cuma pulang ke rumah menangis, khan kurang bagus juga. Enaknya bagaimana ya, kalau aku ajak bicara baik-baik, rasanya susah juga memilih bahasa yang mudah dimengerti dia. Sekarang ini sich aku cuma bilang ke dia, kalau temannya memukul, jangan menangis, kasih tahu kalau itu sakit, kalau perlu `tepak` tangannya saja, tapi pelan. Tapi aku tidak tahu apakah dia mengerti dan apakah cara itu efektif.(Mi)

Jawab
Aku mengalami sendiri hal seperti itu, kemudian anaknya aku tanya baik-baik atau aku diam-diam mengintip di sekolah tanpa sepengetahuan si anak. Hal ini lebih aman,karena kita jadi mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.(In)

Anakku dulu juga suka dipukul oleh teman cowoknya sampai dia tidak mau sekolah. Pertamanya aku suruh dia bilang ke gurunya tapi masih saja suka dipukul, kemudian aku telpon gurunya,tapi tetap tidak berhasil juga. Kemudian aku bilang ke anakku, "kalau anak itu memukul, balas saja. Kalau tidak bisa memukul, kamu dorong saja. Tapi kalau anak itu tidak nakal tidak boleh memukul atau mendorong". Dan ternyata manjur, anak itu tidak pernah mengganggu anakku lagi, malah kaget karena ada yang berani ke dia.(Ni)

Kalau anakku, aku suruh teriak 'stop' atau 'no' yang keras, biar gurunya dengar. Soalnya kadang-kadang gurunya kan tidak melihat awalnya, nanti kalau anak kita membalas, dikiranya anak kita yang memulai. Sekarang mulai aku ajar untuk galak sama anak laki-laki. Di les berenangnya kemarin, ada anak cowok bandel. Dia suka mengganggu anak-anak perempuan. Jadi tiap anak perempuan dia cipratin air. Guru renangnya juga sudah bosan mengingatkan. Ibunya ada di pinggir kolam, cuma senyam-senyum saja. So, sekarang anakku aku ajarin galak ke anak cowok yang bandel itu. Kalau satu dua kali dikasih tahu tidak bisa, galakin saja. Teriakin! Tapi jangan sesekali membalas. Soalnya kalau satu membalas, nanti jadi berkelahi! Kemudian setiap pulang sekolah, ditanyakan bagaimana ceritanya disekolah. Kalau ada apa-apa, langsung lapor ke gurunya. Tidak masalah kok sering-sering lapor ke gurunya. Kalau di sekolahnya memungkinkan untuk mengamati anakmu tanpa keliatan si anak ( di sekolah anakku ada booth khusus untuk tempat pengamatan), kamu sering-sering saja tongkrongin.(nik)

Anakku belum mulai sekolah sich, ini dipukul oleh teman mainnya. Padahal anaknya lebih kecil. Mungkin memang dasar anakku cengeng kali ya, dan memang aku belum pernah ajarkan atau terang-terangan menyuruh dia membalas atau bagaimana, selama ini memang mainnya selalu sama adiknya dan dia yang jadi jagoan. Nah sekarang, ntah bagaimana, temannya ini kok aku perhatiin mulai rada 'nakal' gitu. Aku pikir, bagaimana dia sekolah, kalau main di rumah saja sedikit- sedikit menangis. (Mi)

Memang kalau bisa anak diajarkan untuk mengemukakan ketidakpuasannya terhadap sesuatu secara verbal daripada secara physical. Di sekolah anakku hal ini sangat ditekankan. Anakky 6,5 th, dulu masih sangat physical. Kalau tidak suka adiknya langsung ditonjok atau dipukul.
Tapi di sekolahnya diajarkan `how to verbalize your feelings`. Baik itu feeling negatif maupun feeling positif. Jadi kalau dia mendapat suatu keadaan yang tidak enak dari temannya (misal: dipukul) maka yang pertama dilakukan adalah mengatakan kalau dia tidak suka dipukul (misalnya dengan berkata:"jangan pukul aku, sakit", don't punch me, that hurts, stop it, dll) dan bukan malah membalas memukul. Memang perlu waktu hingga anak-anak terlatih untuk bisa mengungkapkannya secara verbal. Anakku sekarang jauh berubah dengan dilatih seperti ini. Paling kalau dia sudah tidak tahan, dia pukul juga adiknya karena adikknya memukul dia terlebih dahulu. Kemudian dia bilang ke aku, `I already said stop it bu"!. Paling tidak dia berlatih untuk menahan dulu keinginannya untuk mengungkapkannya secara fisik, baru kalau sudah tidak mempan dia terpaksa menggunakan `physical force`. Tapi lama kelamaan mereka akan terbiasa dan tidak mudah main pukul begitu saja. Untuk positive feeling juga begitu. Kalau dia dibiasakan untuk mengungkapkan betapa senangnya dia hari ini karena dibelikan mainan baru, atau diajak ke Sea World, maka si anak juga akan terbiasa mengapresiasikan perasaan orang lain. Hal ini tentunya tergantung kita untuk rajin-rajin melatih dan menstimulasi. "Bagaimana tadi di sekolah, senang?, Senang tidak tadi menonton bioskopnya"? Let them verbalize their feelings and they would get accustomed to understand other people's feelings.(ind)

Aduuh senengnya yach kalau anak kita sudah berhasil mengungkapkan perasaannya secara verbal. Anakku (cowok) termasuk salah satu yang
sering tidak bisa berbuat apa-apa bila diperlakukan tidak adil, dan karena dia sangat sensitif mungkin hal yang bagi anak lain biasa saja, bagi dia sudah luar biasa, pelariannya dia menanggis. Aku tidak pernah meminta dia membalas memukul atau juga berlaku tidak fair ke teman atau orang lain untuk perlawanan pertama, kecuali kalau sudah diperingati teman tersebut tidak mau mengerti aku minta dia bilang ke gurunya, kalau masih juga belum selesai, dengan terpaksa dia harus bertahan atau melawan aku bolehkan. Aku selalu ingatkan untuk memberitahu atau mengekspresikan kalau dia tidak suka. Pernah di sekolah pak guru meminta anak-anak untuk duduk rapi dan bergilir dipanggil, karena heboh, anakku terlewat dan tidak dipanggil, padahal dari awal dia sudah duduk dengan rapi dan diam. Akhirnya dia menangis karena dia kesal dan merasa diperlakukan tidak adil oleh pak guru. 2 minggu pertama di sekolah (kelas 1 sd) dia menangis setiap hari. Aku berusaha terus mengajak dia mengekspresikan perasaannya, kalau untuk yang positif dia sudah bisa bahkan sangat suka menyenangkan orang lain, bilang terimakasih hadiahnya bagus sekali, kuenya enak, bahkan dia tidak tega kalau aku kecewa dengan sikapnya, dia akan buru-buru meminta maaf dan minta bundanya senyum, tapi untuk yang negatif sampai saat ini (usia 5,10) belum terlalu kelihatan hasilnya.(Ren)

Membiasakan anak-anak untuk mengungkapkan perasaannya, tidak harus (atau tidak hanya) di sekolah saja. Bisa diawali sejak di rumah. Yang namanya anak-anak, pasti suka rewel, kemudian menangis atau diam saja, tidka mau bicara, cuma huh-huh. Nah, kalau anakku lagi begitu, aku selalu bilang, bicara `donk`, use your words please. Meski pun kadang-kadang aku tahu apa yang dia mau, tapi kalau dia tidak mau bilang dan cuma merengek, aku diamkan saja. Memang sepertinya kejam ya, tapi, baiknya buat mereka, belajar bicara yang betul. Selain biar manner-nya baik dan juga mengajarkan keterbukaan dengan anak. Anakku yang besar, perempuan, kan sensitif sekali. Pernah di sekolah, lagi acara parent's party, ada orangtua murid yang memarahi anakku. (Si Ibu ini orang poland, memang agak nyentrik orangnya, anak orang dia marah-marahin). Anakku jadi menangis tidak keruan. Sampai guru-gurunya bingung, karena anakku ini selalu manis di sekolah, tidak pernah menangis seperti itu.Menurut guru-guru disitu, cara bicara si Ibu itu yang salah. Harusnya, kalau ada apa- apa, sebagai orang dewasa kita mesti bicara baik-baik kepada anak- anak. Use our words. Jelaskan, jangan asal membentak dan memukul. Kemudian kalau memang anaknya nakal (bersalah), ya boleh saja dikasih hukuman, tapi jangan sesekali main fisik. Suruh saja masuk ke kamarnya 15 menit, atau tidak boleh main lagi sementara (kasih time out), atau tidak boleh menonton tv. Dll. Pokoknya kasih hukuman yang bergunalah. Seperti misalnya anakku pernah oret-oret tembok, ya aku suruh bersihin sendiri. :) Memang tidak bersih, tapi dia jadi tahu, menggosok tembok itu bikin capek. Ya begitulah. So, always use your wodrs.(nik)

Senangnya anak bisa mengungkapkan secara verbal. Tapi walaupun anakku tidak bisa mengungkapkan secara verbal aku merasa Tuhan selalu kasih jalan untuk menjaga dia. Kejadiannya kemarin, menurut anak tetangga yang setiap hari bareng anakku, kemarin anakku ditusuk- tusuk pakai pensil sama salah seorang anak disekolah karena anakku mengambil air minum kepunyaannya. Anakku cuma diam tidak bisa melawan, tapi teman-temannya langsung menghampiri si anak dan bilang "do you know how painful it is? You may not hurt Jogi, if he took your water, you can tell the teacher or the principal" Aku terharu sekali sama anak-anak itu, mereka membela Jogi dengan cara yang bener-bener luar biasa. Aku setuju, lebih baik mereka mengemukakan ketidaksukaannya secara verbal daripada balas melakukan hal yang sama. (dum)

Kebalikan sama anakku. Anakku ini ceriwis sekali. Kalau lagi protes bisa panjang dan lama ngomelnya. Sekali waktu dia `ngomelin' tetangga sebelah rumah yang suka parkir mobil seenaknya. Dan pas anakku pulang sekolah, mau turun dari mobil, dia langsung cas-cis- cus,"Om A ini gimana sih, baru saja kemaren dibilangin, sekarang udah begini lagi. Aku jadi tidak bisa masuk rumah nih..." dan bla- bla-bla.Tapi manjur juga, besok-besoknya si tetangga parkir di carportnya:-) (Ri).

Ini nasehat, sebenarnya tidak terlalu bijaksana. Anakku aku ajar untuk melawan segala bentuk kekerasan, tapi dalam konteks membela diri. Tapi tidak boleh memulai kekerasan. Artinya kalau dia dipukul temannya, dia harus balas memukul kalau temannya tidak bisa menjelaskan mengapa dia harus dipukul. Tapi dia boleh memulai perkelahian apabila bermaksud membela temannya, apalagi kalau temannya perempuan dan anakku laki-laki, itu harus dibantu bela :-). Membela kehormatan perempuan adalah kewajiban buat anakku yang laki- laki. Kalau anakku perempuan, dia justru harus lebih berani lagi melawan teman-teman yang berusaha menindasnya. Lawan saja sekuat tenaga, pokoknya tidak boleh menangis apalagi terlihat lemah, akan semakin membuat teman-temannya gemar menindas. Jadi anak perempuan tidak boleh lemah apalagi cuma bisa pasrah. Kalau anakku laki-laki, dia tidak boleh memukul perempuan, walaupun si perempuan memukul dia. Tapi ini justru anakku malah kelihatan sangat lembut hati dan suka menangis sedih (bahkan waktu menonton the ugly duckling, bisa- bisanya dia `mewek` nahan tangis sedih waktu si ugly duckling ini pergi dari sarang bebek karena diejek). Kalau rebutan mainan sama temannya juga dia pasti mengalah dan tidak suka memaksa. Kadang aku geregetan juga melihat anakku mengalah terus,tapi aku biarkan saja. (Fer)

Anakku juga lembut hati dan berperasaan halus. Seperti kemarin,dia di sekolah menangis sampai muntah karena melihat temannya dimarahi shabis-habisan oleh susternya. Dan dia tidak suka menyaksikan acara di TV yang penuh kekerasan (tembak-tembakan, pukul-pukulan, dst). Kalau ada acara macam itu, pasti dia lari ke kamar. Sempat juga waktu menyanyi di kelas sambil memukul meja, dia juga nangis. Aku jadi bingung. Anakku itu cengeng atau berperasaan halus ya? Sebab kalau dia dipukul temannya tidak menangis (meski malamnya laporan ke aku). (Q)

Mungkin hanya sensitif saja kali, seperti anakku pagi ini aku diceritakan ibu gurunya katanya sehari menangis sampai 3 kali karena dibilang comberan sama salah satu temannya sampai anakku tanya ke ibu gurunya apa arti comberan itu.(An)