Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini


Masa1 usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun sosial. Salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak usia dini adalah aspek emosi. Merangkum pendapat Goleman, Izard dan Ackerman, Le Doux, (Hansen & Zambo 2007) emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psikologis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Emosi bagi anak usia dini merupakan hal yang penting, karena dengan emosi anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya bagi tubuh serta mengorganisasi pikir untuk disesuaikan dengan kebutuhan.

Lebih lanjut Hansen dan Zambo (2007) menjelaskan tentang contoh fungsi emosi dalam kehidupan anak usia dini, misal: takut adalah salah satu emosi yang digunakan untuk ”survival”. Pada saat emosi takut muncul pada anak, maka anak menjadi sadar terhadap lingkungan dan menimbulkan sikap hati-hati pada diri anak. Senyum merupakan ekspresi emosi senang, dengan senyum anak akan mampu memberikan tanda kepada sekitarnya tentang situasi yang dialami dan kebutuhan untuk melakukan hubungan antar pribadi.

Singkat kata emosi membantu anak sepanjang waktu untuk bertahan dan berkomunikai dengan lingkungan. Emosi berkembang sepanjang waktu, emosi pada anak usia dini berkembang dari yang sederhana menjadi ke suatu kondisi yang lebih kompleks. Emosi berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut Bronfenbreuner (Santrock, 2006) ada sejumlah sistem yang berpengaruh terhadap perkembangan anak yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem.

Salah satu sistem yang paling kuat dan langsung pengaruhnya terhadap perkembangan anak adalah mikrosistem. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan mikro oleh Bronfenbreuneur adalah situasi lingkungan yang menyebabkan anak dapat melakukan kontak langsung dan saling mempengaruhi. Lingkungan mikro mempunyai peran khusus dalam perkembangan anak, karena dalam mikrossitem ini terdapat unsur orangtua, guru dan juga mencakup kuantitas.dan kualitas pengasuhan.

Anak berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Salah satu lingkungan yang berperan adalah orang tua. Namun pada tahun terakhir jumlah orang tua terutama ibu yang bekerja semakin meningkat; pada saat yang bersamaan muncul kelompok atau lembaga yang menyelenggarakan pendidikan di luar rumah untuk anak usia dini. Kondisi ini seolah gayung bersambut dengan kebutuhan orangtua untuk tetap dapat mendapatkan cara yang dianggap sesuai untuk perkembangan anak.

Orang tua berharap bahwa di Taman Kanak-kanak (TK) anak akan mendapatkan stimulasi yang memadai bagi perkembangan anak. Pada lingkungan belajar di luar rumah atau di TK, anak akan belajar dan mendapat stimulasi. Melton (dalam Ben-Arieh, et al, 2009) berpendapat bahwa sekolah merupakan lingkungan utama bagi proses perkembangan anak, dan berperan dalam menciptakan kegiatan untuk kesejahteraan anak. Namun pada kenyataannya tidak semua anak mendapatkan perkembangan yang optimal, bahkan anak mengalami developmental delay atau developmental problems.

Lickona (dalam Woolfolk, 2006) mengatakan bahwa variasi dalam situasi akan menghasilkan variasi dalam perilaku. Suasana yang dibangun dalam satu situasi yang mendekati kehidupan yang sebenarnya, dapat menyebabkan anak menjadi kaya akan pengalaman. Anak tidak saja berpikir dan bertindak dari sisi kognitifnya saja, namun juga menggunakan atau mengasah ranah non kognitifnya.

Dengan demikian mereka dapat berkembang secara optimal menjadi manusia seutuhnya (secara horisontal dan vertikal). Anak belajar melalui berbagai cara antara lain melalui imitasi, melakukan sesuatu atau mencoba dan mengalami (Einon, 2005). Lingkungan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan anak, dan anak akan memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh lingkungan. Orang dewasa dapat melatih, menjelaskan, dan mengoreksi anak, atau menunjukkan sesuatu kepada anak.

Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah membantu anak untuk melibatkan dan mendorong anak untuk mencoba dan mengalami. Anak mempunyai bakat atau kemampuan yang telah dibawa sejak lahir, namun bakat atau kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila tidak memperoleh rangsangan dari lingkungannya.

Pendidikan anak usia dini merupakan suatu bentuk stimulasi yang pada dasarnya adalah upaya-upaya intervensi yaitu menciptakan lingkungan sekitar anak usia dini agar mampu menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak. Intervensi merupakan sejumlah informasi yang diatur melalui pembelajaran tertentu untuk pertumbuhan, perkembangan maupun perubahan perilaku.

Menurut Mashar (2007), mengutip pendapat Foot et al mengatakan bahwa anak yang mengalami hambatan ataupun problema perkembangan, tidak akan berkembang secara optimal. Terjadinya problema dalam perkembangan emosi pada anak usia dini salah satunya dipengaruhi oleh guru.

Penelitian Mashar (2007) menunjukkan bahwa guru yang telah dilatih untuk mendampingi anak, ternyata anak mampu berperilaku dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2009) juga menunjukkan bahwa guru yang dilatih dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi pada anak usia dini, dan dalam mengurangi terjadinya problema perkembangan pada anak.

Telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan dan pendidikan anak usia dini. Pada masa yang lalu, tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah persiapan akademis untuk masuk sekolah formal, sehingga pendidikan anak usia dini lebih menekankan pada aspek perkembangan kognitif dan bahasa. Pada masa sekarang paradigma telah merubah menuju pada pengasuhan dan perkembangan anak, yang artinya harus melibatkan caring and education. Perubahan paradigma ini berakibat dalam cara memperlakukan anak, termasuk dalam memberikan stimulasi.

Anak tidak berkembang secara otomatis, namun dipengaruhi oleh cara lingkungan memperlakukan mereka. Ketika anak memasuki lingkungan ”sekolah” non formal seperti taman kanak-kanak, maka ruang dan kesempatan untuk berinteraksi semakin luas. Stimulasi yang diberikan oleh guru termasuk yang berpengaruh. Cara guru memberikan stimulasi terhadap anak adalah tergantung pada pemahaman guru terhadap stimulasi dan permahaman terhadap anak.

Menjadi guru yang baik, berarti seseorang harus bersedia dan mampu mengenali siapa anak didiknya. Pengenalan terhadap anak merupakan hal yang penting, karena setiap anak adalah unik (Pearsons & Sardo, 2006). Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya guru mengabaikan tentang keunikan anak. Bagi guru lebih mudah memberikan pendidikan yang sama dan adil menurut konsep guru, dengan kata lain guru tidak memperhatikan kebutuhan anak.

Menurut Ormrod (2003) guru cenderung menuntut siswa untuk menurut atau taat dengan menunjukkan perilaku yang baik di mata guru sebagai akibatnya anak akan mendapat stimulasi dengan cara yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, dan pada gilirannya akan memunculkan terjadinya problema perkembangan, Anak berkembang dalam lingkungan yang beragam. Goldin–Meadow (2008) menyatakan bahwa lingkungan akan mempengaruhi anak dalam berbagai hal, antara lain akan berpengaruh terhadap bagaiamana seorang anak berkembang dan belajar dari lingkungan.

Kualitas dan kuantitas pengasuhan terhadap anak usia dini ini menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2004) berkait dengan pemberian stimulasi. Pemberian stimulasi harus sesaui dengan kebutuhan anak, anak yang mendapat stimulasi yang berlebih atau kurang, akan menyebabkan anak mengalami problema perkembangan.

Problema perkembangan dapat terjadi karena pemberi stimulasi tidak paham tentang capaian perkembangan. Santrock (2006) menjelaskan bahwa pada pendidikan anak usia dini dimasa sekarang telah mengalami pergeseran paradigma. Capaian perkembangan dalam pengembangan anak usia dini merupakan yang utama.

Berarti pemberian stimulasi adalah berdasarkan pada pengetahuan terhadap tipikal perkembangan anak atau berkait dengan keunikan anak, tidak lagi berdasar pada sudut kepentingan orangtua atau guru.

Oleh karena itu bagaimana pemahaman guru tentang pemahaman terhadap stimulasi dan aspek perkembangan anak merupakan suatu hal yang penting untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini.

Pada saat ini pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini masih belum memadai, karena guru lebih menekankan pada pentingnya kemampuan kognisi pada anak, dan cenderung mengabaikan perkembangan emosi pada anak, sehingga sangat memungkinkan terjadinya problem perkembangan pada anak. Namun hal yang harus diperhatikan adalah kondisi ini terkait dengan nilai dan budaya yang ada disekitarnya.

Karena faktor nilai dan budaya merupakan hal yang ikut menentukan orientasi pendidikan untuk anak usia, dan secara mempengaruhi penentuan standar perilaku dan cara mendidik anak.

Referensi: Wisjnu Martani Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada