Masa1 usia dini merupakan “golden age period”, artinya merupakan masa emas untuk seluruh aspek perkembangan manusia, baik fisik, kognisi emosi maupun sosial. Salah satu aspek perkembangan yang penting bagi anak usia dini adalah aspek emosi. Merangkum pendapat Goleman, Izard dan Ackerman, Le Doux, (Hansen & Zambo 2007) emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psikologis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Emosi bagi anak usia dini merupakan hal yang penting, karena dengan emosi anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya bagi tubuh serta mengorganisasi pikir untuk disesuaikan dengan kebutuhan.

Lebih lanjut Hansen dan Zambo (2007) menjelaskan tentang contoh fungsi emosi dalam kehidupan anak usia dini, misal: takut adalah salah satu emosi yang digunakan untuk ”survival”. Pada saat emosi takut muncul pada anak, maka anak menjadi sadar terhadap lingkungan dan menimbulkan sikap hati-hati pada diri anak. Senyum merupakan ekspresi emosi senang, dengan senyum anak akan mampu memberikan tanda kepada sekitarnya tentang situasi yang dialami dan kebutuhan untuk melakukan hubungan antar pribadi.

Singkat kata emosi membantu anak sepanjang waktu untuk bertahan dan berkomunikai dengan lingkungan. Emosi berkembang sepanjang waktu, emosi pada anak usia dini berkembang dari yang sederhana menjadi ke suatu kondisi yang lebih kompleks. Emosi berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Menurut Bronfenbreuner (Santrock, 2006) ada sejumlah sistem yang berpengaruh terhadap perkembangan anak yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem.

Salah satu sistem yang paling kuat dan langsung pengaruhnya terhadap perkembangan anak adalah mikrosistem. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan mikro oleh Bronfenbreuneur adalah situasi lingkungan yang menyebabkan anak dapat melakukan kontak langsung dan saling mempengaruhi. Lingkungan mikro mempunyai peran khusus dalam perkembangan anak, karena dalam mikrossitem ini terdapat unsur orangtua, guru dan juga mencakup kuantitas.dan kualitas pengasuhan.

Anak berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Salah satu lingkungan yang berperan adalah orang tua. Namun pada tahun terakhir jumlah orang tua terutama ibu yang bekerja semakin meningkat; pada saat yang bersamaan muncul kelompok atau lembaga yang menyelenggarakan pendidikan di luar rumah untuk anak usia dini. Kondisi ini seolah gayung bersambut dengan kebutuhan orangtua untuk tetap dapat mendapatkan cara yang dianggap sesuai untuk perkembangan anak.

Orang tua berharap bahwa di Taman Kanak-kanak (TK) anak akan mendapatkan stimulasi yang memadai bagi perkembangan anak. Pada lingkungan belajar di luar rumah atau di TK, anak akan belajar dan mendapat stimulasi. Melton (dalam Ben-Arieh, et al, 2009) berpendapat bahwa sekolah merupakan lingkungan utama bagi proses perkembangan anak, dan berperan dalam menciptakan kegiatan untuk kesejahteraan anak. Namun pada kenyataannya tidak semua anak mendapatkan perkembangan yang optimal, bahkan anak mengalami developmental delay atau developmental problems.

Lickona (dalam Woolfolk, 2006) mengatakan bahwa variasi dalam situasi akan menghasilkan variasi dalam perilaku. Suasana yang dibangun dalam satu situasi yang mendekati kehidupan yang sebenarnya, dapat menyebabkan anak menjadi kaya akan pengalaman. Anak tidak saja berpikir dan bertindak dari sisi kognitifnya saja, namun juga menggunakan atau mengasah ranah non kognitifnya.

Dengan demikian mereka dapat berkembang secara optimal menjadi manusia seutuhnya (secara horisontal dan vertikal). Anak belajar melalui berbagai cara antara lain melalui imitasi, melakukan sesuatu atau mencoba dan mengalami (Einon, 2005). Lingkungan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan anak, dan anak akan memanfaatkan apa yang ditawarkan oleh lingkungan. Orang dewasa dapat melatih, menjelaskan, dan mengoreksi anak, atau menunjukkan sesuatu kepada anak.

Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah membantu anak untuk melibatkan dan mendorong anak untuk mencoba dan mengalami. Anak mempunyai bakat atau kemampuan yang telah dibawa sejak lahir, namun bakat atau kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila tidak memperoleh rangsangan dari lingkungannya.

Pendidikan anak usia dini merupakan suatu bentuk stimulasi yang pada dasarnya adalah upaya-upaya intervensi yaitu menciptakan lingkungan sekitar anak usia dini agar mampu menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak. Intervensi merupakan sejumlah informasi yang diatur melalui pembelajaran tertentu untuk pertumbuhan, perkembangan maupun perubahan perilaku.

Menurut Mashar (2007), mengutip pendapat Foot et al mengatakan bahwa anak yang mengalami hambatan ataupun problema perkembangan, tidak akan berkembang secara optimal. Terjadinya problema dalam perkembangan emosi pada anak usia dini salah satunya dipengaruhi oleh guru.

Penelitian Mashar (2007) menunjukkan bahwa guru yang telah dilatih untuk mendampingi anak, ternyata anak mampu berperilaku dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2009) juga menunjukkan bahwa guru yang dilatih dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi pada anak usia dini, dan dalam mengurangi terjadinya problema perkembangan pada anak.

Telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan dan pendidikan anak usia dini. Pada masa yang lalu, tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah persiapan akademis untuk masuk sekolah formal, sehingga pendidikan anak usia dini lebih menekankan pada aspek perkembangan kognitif dan bahasa. Pada masa sekarang paradigma telah merubah menuju pada pengasuhan dan perkembangan anak, yang artinya harus melibatkan caring and education. Perubahan paradigma ini berakibat dalam cara memperlakukan anak, termasuk dalam memberikan stimulasi.

Anak tidak berkembang secara otomatis, namun dipengaruhi oleh cara lingkungan memperlakukan mereka. Ketika anak memasuki lingkungan ”sekolah” non formal seperti taman kanak-kanak, maka ruang dan kesempatan untuk berinteraksi semakin luas. Stimulasi yang diberikan oleh guru termasuk yang berpengaruh. Cara guru memberikan stimulasi terhadap anak adalah tergantung pada pemahaman guru terhadap stimulasi dan permahaman terhadap anak.

Menjadi guru yang baik, berarti seseorang harus bersedia dan mampu mengenali siapa anak didiknya. Pengenalan terhadap anak merupakan hal yang penting, karena setiap anak adalah unik (Pearsons & Sardo, 2006). Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya guru mengabaikan tentang keunikan anak. Bagi guru lebih mudah memberikan pendidikan yang sama dan adil menurut konsep guru, dengan kata lain guru tidak memperhatikan kebutuhan anak.

Menurut Ormrod (2003) guru cenderung menuntut siswa untuk menurut atau taat dengan menunjukkan perilaku yang baik di mata guru sebagai akibatnya anak akan mendapat stimulasi dengan cara yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka, dan pada gilirannya akan memunculkan terjadinya problema perkembangan, Anak berkembang dalam lingkungan yang beragam. Goldin–Meadow (2008) menyatakan bahwa lingkungan akan mempengaruhi anak dalam berbagai hal, antara lain akan berpengaruh terhadap bagaiamana seorang anak berkembang dan belajar dari lingkungan.

Kualitas dan kuantitas pengasuhan terhadap anak usia dini ini menurut Mönks, Knoers, dan Haditono (2004) berkait dengan pemberian stimulasi. Pemberian stimulasi harus sesaui dengan kebutuhan anak, anak yang mendapat stimulasi yang berlebih atau kurang, akan menyebabkan anak mengalami problema perkembangan.

Problema perkembangan dapat terjadi karena pemberi stimulasi tidak paham tentang capaian perkembangan. Santrock (2006) menjelaskan bahwa pada pendidikan anak usia dini dimasa sekarang telah mengalami pergeseran paradigma. Capaian perkembangan dalam pengembangan anak usia dini merupakan yang utama.

Berarti pemberian stimulasi adalah berdasarkan pada pengetahuan terhadap tipikal perkembangan anak atau berkait dengan keunikan anak, tidak lagi berdasar pada sudut kepentingan orangtua atau guru.

Oleh karena itu bagaimana pemahaman guru tentang pemahaman terhadap stimulasi dan aspek perkembangan anak merupakan suatu hal yang penting untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini.

Pada saat ini pemahaman guru terhadap cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini masih belum memadai, karena guru lebih menekankan pada pentingnya kemampuan kognisi pada anak, dan cenderung mengabaikan perkembangan emosi pada anak, sehingga sangat memungkinkan terjadinya problem perkembangan pada anak. Namun hal yang harus diperhatikan adalah kondisi ini terkait dengan nilai dan budaya yang ada disekitarnya.

Karena faktor nilai dan budaya merupakan hal yang ikut menentukan orientasi pendidikan untuk anak usia, dan secara mempengaruhi penentuan standar perilaku dan cara mendidik anak.

Referensi: Wisjnu Martani Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
View Post
Usia dini pada anak merupakan masa kritis, di mana seorang anak membutuhkan rangsangan yang tepat untuk mencapai kematangan yang sempurna. Usia dini pada anak juga disebut sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan anak harus dilakukan melalui tiga lingkungan, yaitu keluarga, sekolah dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Sekolah sebagai pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak ialah dalam keluarga.


Memahami Gaya Belajar Anak Usia Dini 

Peralihan bentuk pendidikan informal atau keluarga ke formal atau sekolah memerlukan kerjasama antara orangtua dan sekolah. Sikap anak terhadap sekolah akan dipengaruhi oleh sikap orangtua anak karena diperlukan kepercayaan orangtua terhadap sekolah yang menggantikan tugasnya selama di sekolah. Orangtua juga harus memperhatikan sekolah anaknya dengan memperhatian pengalaman dan menghargai usaha serta menunjukkan kerjasamanya dalam cara anak belajar di rumah atau membuat pekerjaan rumahnya (Hasan, 2009).


Anak memiliki dunia dan karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang dewasa. Anak itu sangat aktif, dinamis dan anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa ingin tahu yang tinggi ini yang menunjukkan anak sudah memulai aktivitas belajar walaupun gaya belajar anak masih sebagian besar dilakukan dengan bermain.

Bermain merupakan suatu hal yang penting bagi anak, dengan bermain anak merasakan suatu kebahagiaan dan kegembiraan. Bermain bagi anak usia dini merupakan aktivitas yang sangat disenangi. Oleh sebab itu, prinsip pembelajaran pada anak yaitu belajar sambil bermain.

Bermain sambil belajar merupakan sistem pendidikan yang umum diterapkan di setiap lembaga pendidikan usia dini. Belajar merupakan bagaimana kita menerima informasi dari dunia sekitar kita dan bagaimana kita memproses dan menggunakan informasi tersebut. Menurut Kamtini (2005) mengatakan bermain ialah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa menggunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberikan kesenangan atau mengembangkan imajinasi pada anak

Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental atau berharga atau penting bagi perkembangan individu. Masa anak juga merupakan peluang besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang.

Anak didefinisikan sebagai individu unik karena tidak ada anak atau individu yang sama persis, baik secara fisik, psikis, dan lain-lain. Perbedaan anak juga terlihat dari gaya belajar karena gaya belajar pada anak berbeda satu dengan lain. Gaya belajar setiap anak dipengaruhi oleh faktor alamiah (pembawaan) dan faktor lingkungan. Manfaat mengetahui gaya belajar: (1). Dapat menentukan cara belajar yang lebih efektif, dan (2). Mengetahui bagaimana memanfaatkan kemampuan belajar secara maksimal sehingga hasil belajar yang diperoleh dapat optimal.

Booby de Porter, (1999) menyebutkan macam-macam gaya belajar pada anak usia dini, sebagai berikut:

1) Visual.

Gaya visual mengakses citra visual, yang diciptakan atau diingat. Adapun ciri–ciri gaya belajar visual, antara lain:

a) Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan

b) Mengingat dengan gambar, lebih suka membaca daripada dibacakan

c) Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail: mengingat apa yang dilihat.

2) Auditori.

Gaya auditorial mengakses segala jenis bunyi dan kata diciptakan dan diingat. Ciri-ciri gaya auditori, sebagai berikut:

a) Perhatiannya mudah terpecah.

b) Berbicara dengan pola berirama.

c) Belajar dengan cara mendengarkan, menggerakan bibir atau bersuara saat membaca.

d) Berdialog secara internal dan eksternal.

3) Kinestetik.

Gaya kinestetik mengakses segala jenis gerak dan emosi-diciptakan maupun diingat. Ciri-ciri gaya belajar kinestetik, antara lain:

a) Menyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak

b) Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik

c) Mengingat sambil berjalan dan melihat.

Prinsip belajar pada anak Anita Yus (2011:67) menjelaskan pelaksanaan pembelajaran untuk AUD dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip, sebagai berikut:

1) Berorientasi pada kebutuhan anak

2) Belajar melalui bermain

3) Kegiatan belajar mengembangkan dimensi kecerdasan secara terpadu

4) Menggunakan pendekatan klasikal, kelompok, dan individual

5) Lingkungan kondusif

6) Menggunakan berbagai model pembelajaran

7) Mengembangkan keterampilan hidup dan hidup beragama

8) Menggunakan media dan sumber belajar

9) Berorientasi kepada prinsip perkembangan dan belajar anak

Anak merupakan investasi atau harta berharga bagi orangtua. Orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anak dalam pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini. Pendidikan Anak Usia Dini harus berlandaskan pada kebutuhan anak, disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut di lingkungan di sekitarnya, sesuai dengan tahap perkembangan fisik dan psikologis anak, dilaksanakan dalam suasana bermain yang menyenangkan dan dirancang untuk mengoptimalkan potensi anak.

Bermain bagi anak usia dini merupakan aktivitas yang sangat disenangi. Oleh sebab itu, prinsip pembelajaran pada anak, yaitu belajar sambil bermain. Bermain sambil belajar merupakan sistem pendidikan yang umum diterapkan di setiap lembaga pendidikan usia dini. Bermain sambil belajar ada unsur gaya belajar, di mana gaya belajar setiap anak dipengaruhi oleh faktor alamiah (pembawaan) dan faktor lingkungan.

Suasana rumah harmonis dan demokratis, berarti orangtua tidak hanya menempatkan diri sebagai orangtua tetapi sebagai guru yang terbaik bagi anak serta hubungan orangtua dengan anak yang harmonis akan menentukan kemampuan belajar dan merangsang untuk mengembangkan kecerdasan. Sebaliknya, suasana rumah tidak harmonis dan tidak demokratis maka anak tidak dapat menentukan kemampuan belajar.

Referensi: Tri Suyati, Ellya Rakhmawati, Padmi Padmi Dhyah Yulianti
View Post
Lagu anak tradisional dahulu sangat dikenal di kalangan anak-anak pada masa dekade 1960’an. Hal tersebut dikarenakan anak-anak memiliki waktu luang dan tempat untuk bermain serta bernyanyi secara bersama-sama. Anak-anak pada masa dekade tersebut banyak memiliki waktu luang sepulang sekolah karena belum disibukkan dengan kegiatan dan les berbagai macam mata pelajaran seperti sekarang ini. Anak-anak waktu itu juga memiliki fasilitas tempat yang luas, misalnya di lapangan, atau halaman rumah yang cukup luas.

Di samping itu, anak-anak pada masa itu belum memiliki permainan yang beraneka ragam seperti sekarang ini, sehingga anak-anak bermain dengan fasilitas yang ada di sekitar mereka. Kebanyakan anak-anak bermain secara bersama-sama berkumpul di tengah lapang saat bulan purnama bersinar, mereka melakukan aneka permainan, ada yang berlarian, ada yang main petak umpet, ada yang juga yang melakukan permainan anak tradisional (dolanan anak), serta ada yang menyanyikan lagulagu dolanan anak.

Lagu Dolanan Anak Sebagai Media Pendidikan Anak Usia Dini

Dolanan anak dahulu sangat populer. Hampir di setiap sudut kampung tampak sekerumunan anak dengan suka cita bermain dakon, gobaksodor, pasaran, congklak, jamuran, cublak-cublak suweng, sampai delikan (bersembunyi). Kadang mereka duduk-duduk sambil menanyikan lagu anak-anak yang sebetulnya sarat dengan pengetahuan dan nasehat. Hal tersebut biasanya dilakukan pada hari libur dan malam hari ketika bulan purnama.

Kesempatan bernyanyi dan bermain yang dimiliki anak-anak masih longgar. Kelonggaran ini dikarenakan mereka belum disibukkan oleh bermacam kegiatan seperti saat sekarang, seperti les sekolah di sore hari, nonton televisi, atau mengikuti bimbingan belajar, dan sebagainya (Kedaulatan Rakyat Minggu, 17 Januari 2010, hal. 9). Di samping itu, lagu dolanan anak pada masa lalu sangat digemari anakanak, hal ini dikarenakan beberapa faktor.

Pertama, tanah lapang atau lahan yang masih luas, 2 memudahkan anak-anak untuk bermain bersama. Kedua, hubungan sosial yang sangat erat membuat mereka saling memiliki dan memiliki kebutuhan untuk berinteraksi satu sama lain. Sebagai makhluk sosial, anak pasti membutuhkan kehadiran orang lain. Hal ini juga dikuatkan oleh sistem kekerabatan masyarakat tradisional dengan sistem patembayan (gotong royong dan empati) yang dimiliki masyarakat Indonesia sebagai masyarakat agraris.

Lagu dolanan anak tradisional anak sepintas tersirat hanya melantunkan nada-nada, namun jika dikaji lebih dalam, lagu dolanan anak tradisional sarat pesan moral. Maka bermain yang dimaksud adalah menyanyikan lagu dolanan anak tradisional baik dengan gerak maupun tidak. Lagu dolanan anak tradisional merupakan lagu-lagu daerah yang biasa dinyanyikan oleh anakanak.

Lagu dolanan anak tradisional ialah tembang atau lagu yang biasanya dibawakan atau dinyanyikan oleh anak-anak dengan gembira serta untuk mengisi waktu di senja hari atau malam hari, antara lain antara lain lagu Jaranan, Kupu (Singarimbun, 1992. books.google.com). Sebagian besar masyarakat Jawa yang masih menggunakan bahasa Jawa pasti kenal dan akrab dengan lagu dolanan anak tradisional. Apabila lagu tersebut dihayati dapat dirasakan keindahan 7 alaminya. Alami karena penceritaannya berkenaan langsung dengan keadaan alam. Penuturannya lugas dan hidup sehingga kandungan lagunya terbayang nyata dan sangat mudah dimengerti oleh anak-anak. Dengan demikian dolanan anak tradisional dengan lagu-lagunya sangat sarat dengan pendidikan secara langsung.

Lagu dolanan anak tradisional dan dolanan anak tradisional dapat dijadikan sebagai alat pendidikan untuk anak-anak. Hal ini bisa dilakukan dengan waktu dan tempat kapan saja. Lagu dolanan anak dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu pengetahuan, nasehat atau penanaman sikap, dan ketrampilan fisik.

Ini sesuai dengan pembagian dalam taxonomi Bloom tentang ranah pendidikan knowledge, affective, dan pschomotor. Lagu dolanan anak juga sarat dengan pendidikan moral dan sosial, oleh karena itu dolanan anak sangat penting untuk dikenalkan pada anak usia dini yaitu usia pra sekolah dan usia sekolah. Melalui lagu dolanan anak tradisional, dapat dibentuk karakter yang seutuhnya.

Referensi : Yuli Sectio Rini, Universitas Negeri Yogyakarta
View Post
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang Pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Yuliani Nurani Sujiono, 2009: 7). Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat.

Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Makanan yang bergizi yang seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Photo Credits: telegraph.co.uk[/caption]

Ada berbagai kajian tentang hakikat anak usia dini, khususnya anak TK diantaranya oleh Bredecam dan Copple, Brener, serta Kellough (dalam Masitoh dkk., 2005: 1.12 – 1.13) sebagai berikut.

  1.  Anak bersifat unik.

  2. Anak mengekspresikan perilakunya secara relatif spontan.

  3. Anak bersifat aktif dan enerjik.

  4. Anak itu egosentris.

  5. Anak memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan antusias terhadap banyak hal.

  6. Anak bersifat eksploratif dan berjiwa petualang.

  7. Anak umumnya kaya dengan fantasi.

  8. Anak masih mudah frustrasi.

  9. Anak masih kurang pertimbangan dalam bertindak.

  10. Anak memiliki daya perhatian yang pendek.

  11. Masa anak merupakan masa belajar yang paling potensial

  12. Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman.


Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini

Secara umum tujuan pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Secara khusus tujuan pendidikan anaka usia dini adalah (Yuliani Nurani Sujiono, 2009: 42 – 43):

  1. Agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta mencintai sesamanya.

  2. Agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu menerima rangsangan sensorik.

  3. Anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar.

  4. Anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat.

  5. Anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan social, peranan masyarakat dan menghargai keragaman social dan budaya serta mampu mngembangkan konsep diri yang positif dan control diri.

  6. Anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif.


Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip (Forum PAUD, 2007) sebagai berikut.

Berorientasi pada Kebutuhan Anak

Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio emosional.

Belajar melalui bermain

Bermain merupakan saran belajar anak usia dini. Melalui bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya.

Menggunakan lingkungan yang kondusif

Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain.

Menggunakan pembelajaran terpadu

Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini dimaksudkan Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer agar anak mampu mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi mudah dan bermakna bagi anak.

Mengembangkan berbagai kecakapan hidup

Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri dan bertanggungjawab serta memiliki disiplin diri.

Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar

Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik /guru. Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya guru menyajikan kegiatan–kegiatan yang berluang.

Referensi: Mujahidah Rapi, SH
View Post
Fenomena mengenai anak usia dini yang semakin berkembang menyebutkan bahwa terdapat bermacam-macam karakteristik anak usia dini yang berbeda dalam hal kemampuan literasi (baca-tulis).

Beberapa survei yang telah dilakukan oleh penulis memperlihatkan adanya perbedaan antara beberapa anak di Taman Kanak-kanak. Sebagian dari mereka memiliki kemampuan literasi yang lebih tinggi dari teman sebayanya, sebagian sama dan sebagian lagi lebih rendah dari teman sebayanya.

Beberapa anak yang berusia kurang dari 5 tahun dapat membaca dan menulis dengan lancar. Mereka dapat membaca buku cerita bergambar yang dibawakan oleh peneliti dengan tanpa mengeja dan tidak tersendat sendat. Hasil tulisan dari mereka pun tidak terdapat huruf yang hilang dalam setiap kata yang dituliskannya, meski terkadang terdapat pencampuaran huruf besar dan kecil.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Keterlibatan Orangtua Dalam Perkembangan Literasi Anak Usia Dini Photo Credits: planningwithkids.com[/caption]

Jika dibandingkan dengan teman seusianya, anak-anak ini memiliki kemampuan yang lebih baik dari teman sebayanya. Kondisi yang berbanding terbalik juga terjadi di beberapa anak, yaitu pada mereka yang berusia 6 tahun ke atas belum dapat membaca dan menulis dengan baik dan lancar.

Dalam kemampuan membaca, mereka masih memerlukan bimbingan dalam mengeja huruf dan juga tidak menghafal seluruh hurf alphabet. Anak-anak ini sering merasa kesulitan mengingat bentuk dan bunyi huruf, sehingga mereka tidak dapat membunyikan (membacakan) juga tidak dapat menuliskannya.

Berdasarkan hasil interviu awal yang dilakukan oleh peneliti kepada anak atau orangtua yang bersangkutan, 3 dari 5 anak mengatakan bahwa ibulah yang banyak berperan dalam mengajarkan kemampuan literasi dan 1 dari 5 anak mempunyai ibu yang banyak meluangkan waktu di rumah yang berkewajiban untuk mengajarkan literasi. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan orangtua (dalam hal ini adalah ibu) cukup berperan dalam perkembangan literasi anak.

Fadriyani (2010) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan literasi, yaitu intelegensi, jenis kelamin, perkembangan motorik, kondisi fisik, kesehatan fisik, lingkungan perbedaan status sosial dan keluarga, termasuk didalamnya adalah keterlibatan orangtua. Reese dkk (2010) Menyimpulkan bahwa keterlibatan orangtua memiliki peranan yang sangat besar dalam mengembangkan kemampuan bahasa dan literasi anak usia dini.

Menurutnya, terdapat 3 hal yang dapat dilakukan orangtua dalam meningkatkan bahasa dan literasi anak usia dini. Pertama adalah, orangtua membaca buku bersamasama dengan anak, kedua adalah orangtua melakukan percakapan dengan anak, dan yang ketiga adalah orangtua-anak melakukan aktivitas menulis bersama-sama. Ketiganya merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan literasi anak usia dini.

Laint-Laurent (2005) menyimpulkan bahwa untuk melakukan “home literacy”, orangtua dan guru harus terlibat secara langsung guna meningkatkan kemampuan literasi anak tahun pertama di sekolah dasar. Dalam peneletian ini juga desebutkan bahwa kegiatan rumah yang menyenangkan yang diciptakan oleh orangtua dan usaha orangtua memberikan efek yang positif dalam mengembangkan literasi anak. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

Park (2008) bahwa bentuk keterlibatan/peran orangtua merupakan salah satu dari tiga komponen yang positif dalam meningkatkan literasi dasar anak prasekolah di hampir semua negara. Ia juga menjelaskan bahwa keterlibatan/peran orangtua memliki pengaruh yang positif dalam pengembangan kemampuan literasi anak.

Deborah (2006) yang meneliti tentang peranan ibu dalam perkembangan literasi anak juga menjelaskan bahwa ketertarikan anak dalam membaca mempunyai hubungan yang kuat dengan cara yang digunakan ibu dalam membacakan buku. Penelitian lain yang telah dilakukan oleh 8 Stephenson (2008), memperlihatkan bahwa literasi rumah (membaca buku, aktivitas pmbelajaran dan jumlah buku), keyakinan orangtua dan perilaku anak mempunyai hubungan yang signifikan dengan emergent literacy dan word reading skills.

Fadriyani (2010) juga mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa TK Bhayangkari dapat masuk di SD favorit yang tes masuknya menggunakan tes kemampuan membaca dan menulis, salah satu penyebab hal ini adalah adanya kesadaran dan harapan orangtua murid yang tinggi dalam penguasaan kemampuan baca-tulis kepada anak mereka. Para orangtua banyak terlibat dalam penyediaan sarana dan prasarana/secara langsung memfasilitasi kebutuhan anak dalam meningkatkan kemampuan literasi.

Penyediaan fasilitas literasi yang bervariasi, dapat digunakan anak sebagai sarana permainan, berwarna-warni, banyak gambar, sesuai dengan ketertarikan anak dan secara fleksibel dapat dibawa anak kemana-mana memberikan efek yang baik dalam perkembangan literasi anak. Penyediaan fasilitas dengan ciri tersebut akan dapat menstimulasi anak untuk lebih tertarik dalam penggunaannya, sehingga akan merangsang keterampilan dan minat literasi anak.

Aktivitas literasi seperti membacakan buku secara rutin, mengajak bercerita, bernyanyi, bermain peran dan memperkenalkan literasi dengan berbagai fasilitas dapat meningkatkan keterampilan dan minat literasi. Memperkenalkan literasi pada usia dimana minat literasi anak mulai muncul juga akan memaksimalkan keterampilan dan minat anak.

Praktek literasi yang dilakukan dengan fasilitas/cara yang sama dan ketika anak dalam kondisi tidak siap akan membuat anak kurang berminat dengan aktivitas tersebut. Sebaliknya, praktek literasi yang dilakukan dengan fasilitas yang bervariasi, kontinyu, sambil bermain akan menumbuhkembangkan keterampilan dan minat literasi anak.

Selain itu, cara mengajarkan literasi yang kurang bersahabat seperti marah, membentak, memaksa, mengancam dan menuntut akan menurunkan minat anak. Sedangkan cara mengajarkan literasi yang bersahabat seperti intonasi suara yang lembut, bercanda, sambil bermain, memuji dan membimbing dapat meningkatkan minat anak.

Kebiasaan orangtua/keluarga merupakan suatu bentuk keterlibatan yang dapat mempengaruhi minat literasi anak. Keluarga yang memiliki kebiasaan literasi dan membiarkan anak terlibat didalamnya membuka peluang yang lebih besar untuk menumbuhkan minat literasi.

Keluarga yang memiliki kebiasaan literasi namun tidak membiarkan anak terlibat didalamnya membuka peluang yang lebih kecil untuk menumbuhkan minat literasi. Sedangkan, keluarga yang tidak memiliki kebiasaan literasi membuka peluang yang sangat kecil untuk menumbuhkan minat literasi anak.

Kesadaran orangtua akan pentingnya literasi dan kebutuhan untuk menumbuhkan minat literasi anak mendukung bentuk keterlibatan yang dilakukan oleh orangtua. Orangtua yang memahami pentingnya literasi akan terlibat dengan lebih bervariasi, baik secara fasilitas, aktivitas dan kebiasaan yang dibangun.

Referensi: Ainin Amariana, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
View Post
Kualitas moral yang tinggi dibutuhkan untuk membuat anak sukses dalam kehidupan di rumah maupun di sekolah. Anak membutuhkan keterampilan moral bukan hanya sekedar prestasi akademik terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Anak yang memiliki kualitas moral yang tinggi dapat dikatakan anak cerdas secara moral.

[caption id="" align="aligncenter" width="447"]Kecerdasan Moral Anak Usia Prasekolah Photo Credits: medicalnewstoday.com[/caption]

Borba (2001) menjabarkan kecerdasan moral anak dalam tujuh aspek yang berupa kebajikan yang dimiliki seorang anak yang cerdas moral. Ketujuh aspek tersebut yaitu :

a. Empati (emphaty)

Anak yang memiliki empati cenderung sensitif, menunjukkan kepekaan pada kebutuhan dan perasaan orang lain, membaca isyarat nonverbal orang lain dengan tepat dan bereaksi dengan tepat, menunjukkan pengertian atas perasaan orang lain, berperilaku menunjukkan kepedulian ketika seseorang diperlakukan tidak adil, menunjukkan kemampuan untuk memahami sudut pandang orang lain, mampu mengidentifikasi secara verbal perasaan orang lain.

b. Nurani (conscience)

Anak yang memiliki tingkat nurani tinggi cenderung berani mengakui kesalahan dan mengucapkan kata maaf, mampu mengidentifikasi kesalahannya dalam berperilaku, jujur dan dapat dipercaya, jarang membutuhkan teguran atau peringatan dari seseorang yang berwenang untuk berperilaku benar, mengakui konsekuensi atas perilakunya yang tidak patut/salah, tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain.

c. Kontrol diri (self-control)

Anak dengan kontrol diri cenderung menunggu giliran dan jarang memaksakan pendapatnya atau menyela; mampu mengatur impuls dan dorongan tanpa bantuan orang dewasa; mudah kembali tenang ketika frustrasi/kecewa atau marah; menahan diri dari agresi fisik; jarang membutuhkan peringatan, bujukan, atau teguran untuk bertindak benar.

d. Respek (respect)

Anak dengan respek cenderung memperlakukan orang lain dengan penuh penghargaan meskipun berbeda, menggunakan nada bicara yang sopan dan menahan diri untuk tidak membicarakan teman/orang lain di belakang dan perilaku lancang, memperlakukan diri dengan penuh penghargaan, menghargai privasi orang lain.

e. Baik budi (kindness)

Anak dengan karakter kindness yang kuat cenderung mengucapkan komentar yang baik yang mampu membangun semangat pada orang lain tanpa bujukan, sungguh-sungguh peduli ketika orang lain diperlakukan tidak adil, memperlakukan binatang dengan lembut; berbagi, membantu, dan menghibur orang lain tanpa mengharapkan imbalan, menolak untuk menjadi bagian dari orang-orang yang mengintimidasi dan mengejek orang lain, selalu menunjukkan kebaikan hati dan perhatian pada orang lain dengan contoh dari orangtua/guru berikan.

f. Toleran (tolerance)

Anak yang toleran cenderung menunjukkan toleran pada orang lain tanpa menghiraukan perbedaan; menunjukkan penghargaan pada orang dewasa dan figur yang memiliki wewenang; terbuka untuk mengenal orang dari berbagai latar belakang dan keyakinan yang berbeda dengannya; menyuarakan perasaan tidak senang dan kepedulian atas seseorang yang dihina; mengulurkan tangan pada anak lain yang lemah, tidak membolehkan adanya kecurangan; menahan diri untuk memberikan komentar yang akan melukai hati kelompok atau anak lain; fokus pada karakter positif yang ada pada orang lain meskipun ada perbedaan di antara mereka; menahan diri untuk tidak menilai orang lain.

g. Adil (fairness)

Anak yang memiliki sense of fairness yang kuat : sangat senang atas kesempatan yang diberikan untuk berbuat membantu orang lain, tidak menyalahkan orang lain dengan semena-mena, rela berkompromi untuk memenuhi kebutuhan orang lain, berpikiran terbuka, berlaku sportif dalam pertandingan olahraga, menyelesaikan masalah dengan cara damai dan adil, bermain sesuai aturan; mau mengakui hak orang lain yang dapat menjamin bahwa mereka patut diperlakukan dengan sama dan adil.

Berdasarkan paparan di atas, disimpulkan bahwa pendapat Borba mengenai aspek perkembangan kecerdasan moral anak lebih tepat digunakan untuk mengetahui sejauh mana kapasitas anak berpikir dan berperilaku moral. Sesuai dengan yang dikemukakan Borba, perkembangan kecerdasan moral anak meliputi beberapa aspek kebajikan yaitu empati, nurani, kontrol diri, respek, baik budi, toleran dan adil.

Kecerdasan moral anak usia prasekolah adalah kemampuan anak prasekolah untuk memahami benar dan salah dan pendirian yang kuat untuk merasakan, berpikir dan berperilaku sesuai dengan nilai moral yang didasarkan atas ketaatan akan aturan dan hukuman dari orang dewasa, yang meliputi tujuh kebajikan moral utama yaitu empati, nurani, kontrol diri, serta kebajikan moral yang lainnya yaitu respek, baik budi, toleran dan adil.

Kecerdasan moral dapat dibangun sejak dini dimulai dari keluarga dengan bantuan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Orangtua memberikan pengaruh langsung melalui pengasuhan yang responsif selain itu, orangtua menjadi pihak yang diharapkan mampu melakukan supervisi pada anak, hal tersebut mengingat bahwa seiring dengan bertambahnya usia anak, anak memasuki dunia sosial dan menjalin pertemanan dengan teman sebaya, teman sebaya diyakini dapat memberikan stimulasi baik positif maupun negatif.

Interaksi sosial terkadang sulit untuk dipahami anak dikarenakan dalam setiap masyarakat terdapat suatu aturan atau konsepsi yang tidak tertulis, sehingga bermunculan perilaku yang berbeda atas dasar persepsi yang berbeda pula. Hal tersebut menyulitkan anak-anak untuk menginterpretasi perilaku tanpa bantuan orang dewasa. Selanjutnya, ketika anak memasuki usia sekolah, pihak sekolah melalui guru pun menjadi turut berperan dalam memfasilitasi perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah.

Orangtua, teman sebaya, dan guru berpengaruh dalam perkembangan moral anak, namun demikian anak tidak serta merta menyalin semua pesan yang disampaikan oleh orangtua, anak memiliki kapasitas menafsirkan pesan orangtua. Anak tidak secara pasif mengunduh informasi atau pesan yang disampaikan orangtua pada mereka, anak bertindak aktif dalam interaksi dan interpretasi, anak dapat memilih atau menolak gagasan yang disampaikan. Anak mengalami proses eksternalisasi aktif melalui sudut pandang alternatif yang ditawarkan oleh teman sebaya, media, sekolah dan pengujian mereka sendiri.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kecerdasan moral anak adalah

  1. Mengingat pentingnya peran orangtua bagi perkembangan anak khususnya kecerdasan moral, diharapkan ayah maupun ibu tidak berdiri sendiri dalam mengasuh anak. Anak membutuhkan pengasuhan yang harmonis dari kedua orangtua.

  2. Orangtua melakukan supervisi pada pergaulan anak untuk menjaga kemungkinan pengaruh buruk dari teman sebaya.

  3. Selain orangtua, pihak guru diperlukan dalam memfasilitasi perkembangan kecerdasan moral anak melalui kegiatan pembelajaran.


Referensi : Yuli Kurniawati, Sugiyo Pranoto, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang
View Post
Tak perlu khawatir, asalkan kedua orang tua tetap kompak dalam menerapkan nilai-nilai dan disiplin pada anak.

"Walau saya sudah ngomel-ngomel untuk melarangnya, dia tetap saja melakukannya, seolah tak memperhatikan dan tak dengar. Lain hal kalau ayahnya yang melarang, baru, deh, didengar. Bahkan sampai menangis segala," ungkap seorang ibu perihal putrinya yang berusia 2 tahun dan tak pernah "takut" padanya.

Pengalaman ini rasanya tak asing bagi kaum ibu yang punya anak batita, bukan? Walau kita marah habis-habisan, tapi, kok, anak adem-ayem saja alias tak ada takutnya. Lain hal jika sama ayahnya, baru diperingati sedikit saja atau baru sekali saja diperingati, anak bisa langsung diam, kadang menekukkan wajahnya karena takut.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Si Kecil Takut pada Ayahnya Photo Credits: divalikes.com[/caption]

Memang, umumnya anak takut pada ayah. "Seharusnya, sih, anak tidak takut pada kedua orang tuanya, ataupun pada salah satu orang tuanya, karena takut ini menyeramkan buat anak." Selain itu, jika anak takut pada salah satu orang tua, maka akibatnya anak pun hanya bisa dekat pada salah satu orang tua saja, entah ayah atau ibunya saja.

Anak juga tak mendapat kesempatan yang sama atau seimbang untuk belajar dari jenis kelamin yang berbeda. "Memang anak juga bisa belajar peran dari orang di luar rumah, tapi alangkah baiknya kalau kesempatan itu datangnya dari dalam rumah, yaitu dari orang tuanya sendiri."

Karena bagaimanapun, bila orang tua punya peran yang seimbang, anak akan lebih banyak belajar dalam kehidupannya. Anak dapat mengembangkan kemampuan sosialisasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakatnya kelak, misalnya dalam hubungan sosial dengan lawan jenis.

Pola Asuh Orang Tua

Anak yang takut pada orang tua, adakalanya dalam situasi tertentu saja, misal kalau orang tuanya marah. "Tapi kalau dalam kondisi biasa saja, rata-rata anak tidak takut." Takutnya bisa karena suara si orang tua yang sedang marah memang keras, pun kala melarangnya, "Awas, tidak boleh!" Sebab, suara keras akan membuat anak kaget, ciut perasaannya, dan akhirnya takut, meski mungkin saja sebenarnya dia pun tak terpikir akan diapa-apakan.

Maka itu, kalau orang tua hendak melarang sesuatu pada anak, tak perlu dengan suara keras dan marah-marah. "Bisa gunakan dengan kelembutan dan dengan tetap memberinya penjelasan, 'Jangan main air, ya, De. Kamu, kan, sudah mandi, nanti bajunya basah lagi', misal."

Selain itu, takutnya anak pada salah satu orang tua juga bisa karena pola pengasuhan dari orang tua itu sendiri. Bisa saja orang tuanya bersikap otoriter dalam menerapkan aturan dan disiplin, sehingga anak takut pada keduanya atau pada salah satunya. "Umumnya, anak takut pada tipe orang tua yang bersikap otoriter. Orang tua bersikap sangat berkuasa, kehendaknya harus dituruti tanpa memahami keinginan dan kebutuhan si anak, hal ini kadang membuat ciut anak."

Sebetulnya, orang tua tak perlu bersikap otoriter dalam hal menerapkan disiplin atau aturan. Tapi sebaiknya lebih pada pendekatan terhadap si anak. "Sebab, setiap anak berbeda, sehingga menghadapinya juga harus berbeda pula. Ada yang harus dihadapi dengan lembut dan ada yang harus dengan sedikit keras. Tapi pada intinya, anak itu kalau sudah diberi penjelasan, mana yang boleh dan tidak, dan diberitahu alasannya, mereka pun akan belajar sesuatu dan mengerti, kok."

Memang, kadang ada anak yang mengerti seketika itu juga akan apa yang kita harapkan untuk dikerjakan, tapi ada pula yang mengerti dan hanya sekadar masuk telinganya dan jadi pengetahuannya saja, tapi tidak dia lakukan saat itu. "Jadi, kalau dikatakan tak boleh, dia tetap saja melakukan hal itu.

Sebenarnya, untuk masalah kontrol ini, bisa kita berlakukan reward dan punishment. "Bila anak melakukan seperti yang kita harapkan, kita beri dia hadiah berupa pujian atau dukungan." Sebaliknya, bila ia tak melakukan apa yang kita harapkan, terapkan punishment. Hanya saja, jangan berupa hukuman fisik, tapi lebih ke arah mengurangi kesenangannya.

Peran Jenis Kelamin Orang Tua

Peran jenis kelamin orang tua juga sangat berpengaruh pada rasa takut anak. Ayah umumnya bersikap tegas dibanding ibu yang biasanya bisa lebih longgar. Walaupun mungkin ibu lebih banyak melarang dibanding ayah, misal dalam hal disiplin, tapi kalau ayahnya yang melarang sesuatu, alasannya selalu tepat dan jelas, sehingga anak tahu kalau yang dia perbuat itu salah. Dengan demikian, begitu ayahnya memberitahunya, melarangnya, hal itu masuk ke dalam hatinya. Ia jadi takut kalau salah.

Kalau pada ibu, karena anak merasa dekat, maka ia pun bisa lebih bernegosiasi. Harus diingat pula bahwa pada tahap-tahap tertentu, kedekatan anak terhadap ibu masih sangat besar, walau peran ayah juga penting, tapi mungkin tidak utama.

Jadi, kalau dimarahi atau dinasehati ibu, dia pun seolah tidak mendengar. Bahkan bisa jadi dia malah mengatakan, "Sebentar lagi, ya, Bunda," atau kalimat merayu lainnya. "Itu, kan, pertanda ia melakukan bargaining." Juga, anak berani untuk mengungkapkan sesuatu. "Sebenarnya ibu pun bisa menggunakan ini sebagai senjata untuk membuka komunikasi dengan anak, misal, 'Iya, boleh, tapi sebentar saja, ya, main airnya. Ibu beri waktu 5 menit lagi.'"

Hubungan antara orang tua dan anak pun ada pengaruhnya pada rasa takut anak. Misal, pada anak perempuan, ada sisi-sisi tertentu dari ayah yang bisa membuatnya merasa nyaman dan senang. Mungkin dalam hal bermain. Kadang ibu banyak urusan rumah tangga sehingga kesempatan bermain dengan anak lebih sedikit, sementara ayah mungkin urusan rumahnya tidak sebanyak ibu sehingga kesempatan bermain bersama anak lebih banyak. Ada hal-hal yang menyenangkan bagi anak dari ayahnya. "Bisa saja anak takut salah atau takut tidak disayang oleh ayahnya lagi ketika si ayah yang disenanginya itu melarangnya."

Bukan itu saja, setiap orang tua pun berbeda-beda. Ada orang tua yang tak senang dengan anak kecil, tak sabaran dan merasa kesal kalau anaknya bermain dan menumpahkan sesuatu, tapi ada juga yang sebaliknya, penuh kesabaran.

"Nah, sifatsifat orang tua juga berpengaruh pada anak." Jadi, kalau ayahnya melarang, dia akan mendengar karena ayahnya selalu sabar menjelaskannya. "Jangan main air dulu, ya, tapi makan dulu. Biar kamu tak kedinginan dan sakit perut," misalnya. Sehingga anak paham betul bahwa main air tak boleh karena apa.

Lain hal dengan ibunya yang tak sabaran, belum apa-apa sudah teriak-teriak, tanpa menjelaskan penyebab tak bolehnya, juga tidak memahami maksud si anak, sehingga anak pun menentang duluan. Dia akan berpikir, "Pasti, nih, apa yang aku buat selalu tidak boleh, dilarang terus." Sehingga larangan atau omelan si ibu pun akhirnya hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan.

Sebenarnya, ada baiknya juga ayahlah yang ditakuti anak. Justru harus hati-hati bila yang ditakuti adalah ibunya. "Karena kalau ia takut pada ibu, maka ada kemungkinan ia tak dekat dengan ibunya. Padahal seharusnya anak pada masa batita itu lebih dekat dengan orang tua perempuan. Masa-masa batita dan balita, sebenarnya peran ibu masih lebih kuat dan dibutuhkan. Kalau sampai ibunya ditakuti, biasanya akan ada kehilangan sesuatu dalam perkembangan kejiwaannya."

Ayah Dan Ibu Harus Kompak

Yang jelas, jika salah satu orang tua merasa kesulitan karena anaknya tak bisa diberitahu, misalnya, orang tua perlu introspeksi diri apa yang menyebabkan si anak hanya takut pada salah satu orang tuanya saja.

Sebaiknya pula, kedua orang tua jangan saling membandingkan. "Memang terkadang ada kebanggaan tersendiri pada diri orang tua, misal ayahnya, kalau anak lebih mendengar dirinya. Nah, hal seperti itu sebaiknya jangan diperlihatkan di depan anak. Biarkan anak tahu bahwa antara ayah dan ibu setara. Mereka punya kesamaan hal untuk melarangnya." Walaupun demikian, orang tua juga jangan asal melarang anak. Melainkan harus menjelaskan, apa, sih, yang menyebabkannya tidak boleh? Jadi, pelarangan itu ada keterangannya sehingga si anak pun paham.

Jika si ibu membuat keputusan, sebaiknya ayah membantu si ibu. Ketika si ibu melarang sesuatu atau marah pada anak, "Kamu tak boleh itu!", maka ayah pun harus mendukung si ibu, "Sudahlah, De, kan kata Ibu juga tidak boleh." Jadi anak pun tahu kalau baik ayah maupun ibunya tak suka.

Boleh juga daripada capek-capek, lalu si ibu menyerahkan pada ayahnya, misal, "Nih, Yah, anaknya susah diberitahu." Hal ini boleh-boleh saja selama ayah dan ibu kompak dalam menerapkan suatu disiplin. Jadi, ibu ada komunikasi dengan ayah untuk mendisiplinkan si anak. Hanya saja, sambungnya, seringkali yang terjadi ayah dan ibu tak kompakan.

Padahal dengan kompak, maka ada peran yang seimbang antara kedua orang tua, sehingga anak pun bisa belajar untuk kehidupannya. "Kalau anak cukup mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, lingkungannya juga baik dan benar secara seimbang, maka anak pun bisa belajar dari situ."

Selain itu, dalam hal disiplin pun anak jadi tak bingung, nilai mana yang mau dipilih, karena si orang tua kompak. "Kalau anak bingung, akibatnya anak-anak seperti ini bisa jadi tidak percaya diri atau tak acuh sama sekali atau tak bisa disiplin." Bahkan bisa jadi, salah satu orang tua bisa diremehkan. "Anak jadi tahu cara tricky untuk mencari situasi yang menyenangkannya. Misal, dilarang ayahnya, dia pun lari ke ibunya. Jadi dia tidak belajar suatu nilai yang seharusnya dia pelajari, tapi hanya mencari amannya saja."
View Post
Arahkan anak agar hanya mencontoh perbuatan yang positif saja. Jika pada perilaku negatif, segera cegah dan beri penjelasan.

Melihat temannya menangis, eh, si balita kita, kok, latah ikut menangis. Begitu juga kala ada sebayanya yang tertawa gembira, si kecil pun ketularan tertawa pula. Tak perlu bingung atau berpikir ia sudah punya sikap solidaritas yang tinggi, karena di usia balita, anak tengah memasuki fase peniruan.

Perilaku meniru menjadi penting karena dari proses belajar ini kognisinya akan berkembang semakin optimal. Itulah sebabnya, anak pun terkesan "latah" dengan senang meniru perilaku orang lain. Secara umum latah sendiri dibedakan menjadi dua. Latah terhadap kata-kata dan latah terhadap perilaku. Sementara kasus di atas adalah latah perilaku.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Penyebab Latah pada Anak Photo Credits: buzzfeed.com[/caption]

Aneka Penyebab

Penyebab anak menjadi latah, bisa disebabkan berbagai faktor. Salah satunya, rasa senang yang diakibatkan oleh perilaku peniruan tersebut. Misal, saat anak meniru anak lainnya memukul-mukul meja, awalnya tanpa sadar ia melakukannya karena melihat temannya memukul-mukul meja, tapi lambat laun anak juga menemukan kesenangan dari kegiatan tersebut. Saat tangannya ikut bergerak, pukulannya mengeluarkan bunyi yang membuat anak senang dan bergembira.

Selain itu, faktor perhatian pun bisa menjadi pemicu anak menjadi latah. Entah perhatian itu berbentuk pujian, tertawaan, atau hal-hal lain yang bisa menyenangkan anak. Misal, saat anak mencoba meniru perilaku kakaknya yang suka menggaruk-garuk kepala, orang tua atau orang lain yang menyaksikannya tertawa terpingkal-pingkal atau minimal menyunggingkan senyuman. Nah, dengan tertawaan atau senyuman tadi anak merasa menjadi pusat perhatian, dan ia akan terus mempertahankan sikap peniruan tadi.

Orang-orang yang kerap dijadikan model tiruan adalah orang-orang yang dekat dengan si anak atau orang-orang yang sering bertemu dan bermain dengannya, entah itu teman bermain sebaya, saudara sepupu, orang tua, pengasuh, atau bahkan tetangganya.

Anak akan mengidentifikasi, merekalah teman-temannya. "Karena intensitas pertemuan, hubungan anak-anak menjadi semakin akrab. Tak heran, jika anak itu akan meniru teman dekatnya itu, tak peduli siapa pun dia."

Hanya saja, anak usia batita belum lagi tahu arti solidaritas sesama teman. Saat temannya menangis akibat direbut mainannya oleh sang kakak, misalnya, ia hanya refleks meniru tangisan sang teman tersebut, bukannya karena ia merasakan ketidaknyamanan yang sama.

Jika pun anak langsung memukul si pengganggu, bukan juga berarti anak sudah memiliki empati terhadap si korban, tapi lebih karena ia mendapat ketidaknyamanan akibat tindakan yang ditimbulkan oleh si kakak tadi.

Dengan si kakak merebut mainan hingga sang teman menangis, maka secara otomatis si anak tidak bisa bermain-main dengan temannya lagi. Oleh karena itu anak tergerak secara refleks untuk mengusir si kakak atau memukulnya.

Baik Buruknya Tergantung Peniruan

Baik buruknya anak bersikap latah terhadap sang teman tergantung apa yang ditirunya. Jika sifatnya negatif, maka orang tua harus segera menghentikan dengan memberinya penjelasan kepada anak. Sebaliknya, jika yang dicontoh adalah hal-hal positif, maka orang tua justru harus memberikan dukungan agar anak terus melakukan hal itu.

Ikut-ikutan menangis termasuk perilaku yang tak patut ditiru. Bukannya karena menangis ini melulu bersifat negatif, tapi setiap ekspresi jiwa harus ada sebab musababnya, tidak ujug-ujug dilampiaskan saat melihat anak lain melakukannya.

Jadi, jelaskan pada anak, "Kenapa, kok, kamu menangis? Kamu ikut-ikutan temanmu itu, ya? Temanmu menangis karena mainannya direbut. Mainanmu, kan, masih ada. Karena itu, kamu tidak usah ikut-ikutan menangis." Demikian juga jika si anak mendadak marah, "Kamu jangan ikut-ikutan marah seperti temanmu, ya. Temanmu marah karena diganggu oleh kakaknya. Kamu sendiri, kan, tidak diganggu."

Manfaat yang bisa diambil dari hal ini adalah anak belajar untuk mengungkapkan atau mengenali emosinya dengan sehat. Anak akan tahu, kapan dia harus menangis, sedih atau marah, beserta penyebabnya.

Tentunya, orang tua juga jangan sekali-kali memberikan respon positif saat anak melakukan imitasi terhadap perilaku negatif teman-temannya. Respon seperti menertawakan atau memberikan senyuman akan ditanggapi anak dengan terusmenerus melakukan perbuatan imitasi tersebut. Namun, setiap larangan haruslah dilanjutkan dengan alasaan yang menjelaskan atau pengarahan. Tanpa itu, anak tak bakalan mengerti.

Sebaliknya, beri dukungan bahkan rewards bila anak meniru hal-hal positif. Misal, saat anak mencontoh temannya yang membagikan kue miliknya, orang menanggapi dengan komentar, "Kamu belajar seperti itu dari temanmu, ya? Ibu senang melihatnya, nanti Ibu kasih kue lagi, yang enak."

Contoh Wajar

Mengarahkan anak untuk melakukan peniruan pada hal-hal yang positif saja bisa dilakukan sambil kita menunjukkan sifat dan kebiasaan baik. Bagaimanapun, anak akan melakukan imitasi terhadap orang yang paling dekat dengan dirinya, yaitu orang tua. Anak akan meniru semua sikap dan tutur kata kita, tidak peduli apakah sifat itu positif atau negatif. Jadi, berhati-hatilah terhadap sifat dan kebiasaan-kebiasaan buruk jika kita tak ingin si kecil mencontohnya. Tentunya, beri contoh yang wajar, tak perlu dibuatbuat. Orang tua mungkin saja sibuk bekerja, tapi jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk tidak mengajari anak akan hal-hal positif. Mengakalinya, mintalah kepada pengasuh anak kita untuk menjelaskan hal atau kebiasaan-kebiasaan apa saja yang harus ditanamkan kepada anak, dan mana yang tidak. Jadi, meski orang tua hanya punya sedikit waktu bersama anak, si kecil akan tetap mengacu pada orang tua sebagai model imitasinya melalui si pengasuh. Bukan tak mungkin anak akan menegur teman yang dinilainya tidak sopan dengan membawa-bawa nama kita, "Lo, kok, kamu makannya dibuang-buang. Kata Bunda, itu enggak baik."

Imitasi Identifikasi

Proses imitasi atau peniruan pada usia batita akan dilanjutkan ke proses identifikasi pada usia prasekolah. Jadi waspadalah, karena di usia ini berarti anak sudah siap menuju proses berikutnya. "Ia bukan hanya akan mengambil gaya bicara dan tingkah laku kita, tapi juga pada karakteristik kita sebagai manusia dewasa." Nantinya, anak tidak hanya membeo apa saja yang kita lakukan, tapi juga menjadikannya sebagai bagian dari dirinya. "Ia merasa dirinya adalah orang atau model yang ditirunya. Ia percaya, ia mampu melakukan apa saja yang dilakukan si model. Dalam kehidupan sehari-hari, ia mengambil semua yang melekat pada diri model. Ia akan meniru cara si model makan, berpakaian, gaya berbicara, dan bertingkah laku. Bahkan karakteristik, kepercayaan/keyakinan, dan nilai-nilai orang tersebut juga akan diambilnya. Itulah yang dalam psikologi dikenal sebagai proses identifikasi." Identifikasi merupakan proses alamiah, atau bagian dari perkembangan kepribadian setiap anak. Tentu dengan keunikan masing-masing."

Sudah Bisa Memilih Teman

Meski anak usia batita belum pandai bersosialisasi, tapi mereka sudah bisa memilih teman yang cocok baginya, lo. Anak akan memilih teman-teman yang dirasa bisa membuatnya nyaman saat bermain. Teman-teman, baik itu yang sebaya atau yang lebih dewasa, jika sikapnya dianggap tidak menyenangkan, seperti galak atau kerap memukul, pasti dijauhi anak.

Nah, saat bermain itulah kadang terjadi "transfer" sifat atau karakter. Anak-anak bisa meniru atau bersikap latah terhadap sikap teman-teman bermainnya. Anak yang mulanya bersifat pendiam, bisa mendadak agresif. Jika marah dia menggigit atau melempar-lempar barang, misalnya. Bisa juga terjadi sebaliknya, anak-anak yang tadinya terlihat aktif dan ceria, mendadak pendiam setelah lama bergaul dan bermain dengan anak-anak pendiam dalam jangka waktu lama.

"Karakter anak sejak batita memang sudah mulai terlihat. Ada anak tipe sulit yang menangis melulu dan ogah diatur; ada anak tipe mudah yang gampang diatur dan sifatnya pendiam; dan ada anak-anak yang memiliki sifat gabungan dari dua karakter tadi. "Karakter anak bisa berubah tergantung situasi dan kondisi, serta lingkungan yang mempengaruhinya. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhinya adalah orangorang yang dekat dengan si anak. "Biasanya makin lama dan banyak pengalaman, makin terbentuk karakter pribadi aslinya."

Nah, orang tua sebagai orang yang terdekat harus berperan sebagai "penyaring". Kalau perilaku anak ternyata sudah kelewatan, seperti suka berbicara kasar dan jorok, orang tua mesti memberikan pengarahan. Jelaskan, itu bukanlah cara yang baik dan tidak patut dicontoh. Selain itu, berilah contoh konkret cara berbicara yang sopan dan santun. Jika tidak, maka perilaku itu akan terus terbawa hingga anak beranjak dewasa dan ia akan tumbuh dengan karakter yang buruk.
View Post
Selain bisa jadi obat mujarab mengatasi rasa takut, bermain peran (role play) juga merangsang imajinasi dan kemampuan verbal si prasekolah.

"Ibuuu...ada ayam, aku takut!" jerit Susan, seorang bocah prasekolah sambil berlari kencang dan mencoba berlindung di belakang ibunya saat melihat hewan peliharaan tetangganya melintas di depannya. "Ah...masa udah gede takut sama ayam. Kamu, kan, suka makan ayam?" goda si ibu.

Memang umumnya rasa takut pada anak muncul karena anak sering ditakut-takuti. Umpamanya dengan ucapan, "Awas, lo, kalau masih nangis terus dan enggak mau diem, nanti kamu dipatuk ayam." Atau "Pokoknya, kalau makannya enggak habis, Mama panggilin dokter biar nyuntik kamu!"

Memang, sih, metode semacam ini amat tokcer untuk "memaksa" anak mau menuruti keinginan orang tuanya. Alhasil, anak selalu takut jika melihat bahkan mendengar suara sosok siapa pun atau binatang yang baginya telanjur dianggap menyeramkan.

Metode Alternatif Atasi Rasa Takut pada Anak

Padahal sosok maupun binatang yang selama ini dianggap menakutkan si kecil tersebut sebetulnya sama sekali tak berbahaya. "Itulah akibat yang mestinya dicermari kalau orang tua hanya mencari jalan pintas dengan cara menakut-nakuti anak,".

Bentuk ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat tangisan, jeritan, bersembunyi atau tak mau lepas dari orang tuanya. Untungnya, seperti dijelaskan, rasa takut ini akan hilang dengan sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. "Saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi. Tentu saja perlu dukungan orang tua."

Yang jadi masalah adalah bila rasa takut mengendap dan tak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas sehari-hari anak. "Bahkan bisa mengarah jadi ketakutan yang bersifat patologis. Malah bisa fobia alias ketakutan berlebih karena pernah mengalami kejadian tertentu." Misalnya, gara-gara takut tikus, tiap kali melihat hewan itu, ia akan menjerit ketakutan. "Tapi umumnya jarang muncul pada anak batita, kok,"

Berimajinasi Lewat Role Play

Bermain peran, menjadi satu satu cara yang cukup efektif untuk mengatasi rasa takut anak. Dalam permainan ini si anak memerankan sosok yang selama ini dianggap menakutkannya. Ketakutan yang bercokol dalam diri si kecil dimanifestasikan melalui cara ini, hingga diharapkan dia tak memiliki rasa takut lagi di kemudian hari.

Bermain peran juga dapat membuat anak pandai berimajinasi karena memerankan sosok yang bukan dirinya. Misalnya, dia mengkhayalkan dirinya menjadi dokter yang menurutnya termasuk sosok menyeramkan.

Melalui cara ini, anak belajar berempati pada posisi orang lain. Selain belajar bereksplorasi dan berimajinasi serta meningkatkan kemampuan verbal, dengan bermain peran anak juga diharapkan dapat mengatasi rasa takut dalam dirinya.

Berikut ini rasa takut yang banyak dialami anak dan cara mengatasinya dengan cara bermain peran:

1. Takut Dokter

Anak biasanya takut dokter karena pengalamannya pernah disuntik yang ternyata rasanya cukup menyakitkan bagi mereka. Maka tak heran, baru memasuki ruangan dokter atau melihat peralatan sampai mencium "bau" obatnya saja, anak sudah menjerit-jerit atau menangis histeris. Apalagi kalau saat diperiksa dan disuntik.

Penyebabnya selain karena punya pengalaman traumatik, bisa jadi ia dulu kenyang ditakut-takuti bakal disuntik dan sebagainya oleh orang tuanya.

Cara mengatasinya:

Anak memainkan peran sebagai dokter, sedangkan orang tua atau kakak/adik berpurapura menjadi pasiennya. Gunakan mainan berbentuk alat-alat yang biasa digunakan dokter, seperti stetoskop. Biarkan anak bereksplorasi dan berimajinasi memerankan dokter yang sedang memeriksa pasien.

Secara tak langsung, anak menjadi tahu bagaimana cara dokter menghadapi pasienpasien yang takut diperiksa. Semisal dengan cara menenangkannya, "Jangan takut, ya, Bu-Pak. Saya cuma periksa sebentar aja, kok. Kalaupun harus disuntik, enggak sakit, kok. Kan, supaya lekas sembuh."

Dengan berpura-pura memberikan nasihat seperti itu, bukan tidak mungkin sosok dokter justru menarik minatnya dan malah bercita-cita menjadi dokter.

2. Takut pada orang yang baru dikenal

Tak jarang anak-anak tampak takut pada orang yang pertama kali ditemuinya. Dia akan berusaha menjaga jarak, apalagi orang yang menghampirinya itu berwajah kurang "bersahabat". Yang juga kerap terjadi, orang tua terkesan berlebih saat menasihati anaknya untuk tidak terlalu akrab dengan orang yang tidak dikenal. "Awas, kamu jangan deket-deket sama orang yang enggak kamu kenal. Bisa-bisa kamu nanti diculik, lo!"

Memang, sih, ada segi positifnya bila orang tua senantiasa wanti-wanti si kecil agar waspada terhadap orang lain atau yang baru dikenalnya. Tapi tentunya bukan dengan cara berlebihan yang menyebabkan si kecil malah selalu ketakutan pada orang lain.

Cara mengatasinya:

Ajak anak bermain tamu-tamuan. Ikutkan pula teman-temannya. Posisikan dia untuk bergantian memainkan peran sebagai tamu yang berkunjung ke rumah orang lain, atau sebagai nyonya rumah yang kedatangan tamu. Bermain peran untuk mengikis rasa takut pada orang lain juga bisa dilakukan dalam berbagai situasi, seperti di toko, sekolah dan tempat keramaian lainnya.

3. Takut Binatang

Adalah hal yang wajar bila anak takut pada binatang yang baru pertama kali dilihatnya. Apalagi bila hewan itu kelihatannya buas dan menyeramkan. Hanya saja sungguh sayang bila orang tua tak berusaha menjelaskan dan memperkenalkan anak pada binatang-binatang yang ditemuinya tadi.

Seperti mengajaknya mengelus-elus bulu kucing atau memberi makanan pada induk ayam dan anak-anaknya. Sangat tidak bijaksana pula jika orang tua malah menambah rasa takut anak pada binatang yang sebenarnya relatif tak membahayakan. "Awas, jangan dekat-dekat, nanti kamu dicakar kucing."

Cara mengatasinya:

Anak bermain peran sebagai sosok pemandu/pelatih sirkus yang sehari-hari melatih binatang. Ini akan menyadarkan anak bahwa binatang pada dasarnya bisa dilatih untuk menurut dan diajak bekerja sama. Cara lain adalah dengan bermain sandiwara di panggung yang menggelar cerita tentang hewan-hewan sebagai sahabat manusia.

4. Takut Hantu

Banyaknya tayangan televisi yang menyajikan program acara bertajuk cerita hantu tak ayal ikut mempengaruhi kadar rasa takut anak-anak. Ironisnya, tak sedikit orang tua yang menjadikan cerita hantu ini sebagai "senjata" untuk menakuti-nakuti si kecil. Meskipun rasa takut pada hantu bisa saja terjadi akibat faktor "genetik" berupa sikap penakut dari orang tuanya.

Cara mengatasinya:

Anak bermain peran sebagai hantu yang selalu membantu orang yang kesulitan seperti film/buku cerita Casper. Atau bisa juga berperan sebagai penyihir yang baik hati. Jadi, anak mempersepsikan hantu bukan sebagai sosok yang menakutkan.

5. Takut Sekolah

Anak yang pertama kali masuk TK awalnya takut beradaptasi dan bersosialisasi dengan guru dan teman-teman barunya. Terlebih bila orang tua juga tak berusaha memperkenalkan si kecil pada temannya.

Cara mengatasinya:

Sebelum didaftarkan masuk TK, anak diajak bermain sekolah-sekolahan. Anak bermain peran sebagai murid atau guru. Saudara sepupu si kecil atau tetangganya yang seusia bisa dilibatkan untuk berpura-pura sebagai murid. Sehingga anak tak takut dan tak canggung lagi di hari pertamanya masuk TK.

6. Takut Berpisah (SEPARATION ANXIETY)

Anak cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Terutama ibunya, yang selama 3 tahun pertama menjadi figur paling dekat. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak.

Kelekatan anak dengan sosok ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Justru akan jadi masalah bila si ibu kelewat melindungi/overprotektif atau hobi mengatur segala hal, hingga tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain.

Perlakuan semacam itu justru akan membuat kelekatan ibu-anak terus bertahan dan akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si anak besar. Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan si ibu beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, diikuti si anak terus. Repot, kan? Belum lagi ia jadi susah makan dan sulit tidur jika bukan dengan ibunya.

Cara Mengatasinya:

Jelaskan pada si kecil, mengapa ibu harus pergi/bekerja. Begitu juga penjelasan tentang waktu meski anak usia ini belum sepenuhnya mengerti alias belum tahu persis kapan pagi, siang, sore, dan malam serta pengertian mengenai berapa lama masing-masing tenggang waktu tersebut.

Akan sangat memudahkan bila orang tua menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Semisal, "Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah pulang." Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang

7. Takut Gelap

Biasanya juga gara-gara orang tua. "Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?" Takut pada gelap bisa juga karena anak pernah dihukum dengan dikurung di ruang gelap. Bila pengalaman pahit itu begitu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar keringat dingin atau malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.

Cara Mengatasinya:

Saat tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Paling tidak, biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah bertindak sebagai penjaganya hingga anak tak perlu takut.

8. Takut Berenang

Sangat jarang anak usia batita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang hingga hidungnya banyak kemasukan air.

Cara Mengatasinya:

Lakukan pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap mengenakan pakaian renang.

Bisa juga dengan memasukkan anak ke klub renang yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan saudara/teman-teman seusianya.

Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalaupun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkan rasa takutnya. Semisal, "Payah, ah! Berenang, kok, takut!"

Berkembang Jadi Fobia

Jika sejak kecil anak selalu takut, sementara tak ada dorongan dari orang tua untuk mengatasi rasa takut tersebut, tidak tertutup kemungkinan ketakutannya bisa berkembang menjadi fobia/takut yang berlebihan. "Kalau tak diantisipasi, bisa menjadi sesuatu yang menghambat segalanya. Ke mana-mana takut, hingga jiwanya juga tak berkembang,".

Padahal sebagai orang tua harusnya tahu bahwa anak membutuhkan rasa aman dan nyaman. Bila lingkungan malah membuat anak makin merasa takut, maka jangan harap bakal tercipta rasa aman dan nyaman. Kelak jika suasana takut itu terus-menerus "dipelihara", justru proses bermain dan belajar si anak akan terganggu juga.

Selain karena lingkungan yang tak mendukung anak untuk mengatasi rasa takutnya, ternyata penelitian juga menunjukkan bahwa fobia itu "ditularkan" oleh orang tua, terutama sang ibu.

Pasalnya, sosok ibu lebih memiliki kedekatan emosional dengan si anak daripada dengan ayah. Contoh konkret, bila ibu takut pada suasana gelap, maka secara otomatis bila kondisi itu muncul, ibu secara spontan akan mencengkeram tangan si kecil. Dengan kata lain bisa membuat anak ikut-ikutan takut.

Nah, untuk menghilangkan fobia takut ini dibutuhkan proses dan latihan. Yang patut diperhatikan, ketakutan irasional ini bisa menggeneralisasi alias bisa berdampak sangat luas dan parah.

Misalnya, anak yang takut ayam, jangankan bertemu dengan hewan petelur itu, mendengar suara ayam berkotek saja sudah bergidik. Atau contoh lain jika di masa kecilnya selalu ditakut-takuti buaya, melihat cicak yang memiliki kemiripan dengan buaya pasti sudah mampu membuatnya takut.

Kasus yang cukup parah adalah seoarang anak yang secara tak sengaja menyaksikan kilatan petir di siang hari diiringi suara yang menggelegar sehingga membuatnya terkejut bukan kepalang. Apa akibatnya? Dia takut pada suasana siang hari.

Anak itu meminta orang tuanya untuk menutup rapat jendela sekaligus gordennya serta tak boleh ada nyala lampu di rumahnya. Si anak justru senang pada suasana gelap karena dia beranggapan jika gelap gulita takkan ada petir.

Dampak yang paling parah, sepanjang hari dia terus menutup telinganya meskipun tak ada mendung atau hujan yang rawan muncul petir bersahutan. "Generalisasinya bisa sangat luas,". Bagi anak yang takut dokter, perasaan ini dapat tergeneralisasi pada hal-hal lain yang memang masih berhubungan.

Umpamanya, melihat orang yang berbaju putih saja dia akan ketakutan. Atau ketika mendengar orang yang menyebutkan kata "dokter", ia langsung berdebar-debar meski tak ada sangkut paut dengan dirinya. Tak heran begitu masuk ruang periksa atau bertemu dengan dokter dalam sosok yang nyata, pastilah dia menjerit-jerit dan menangis ketakutan.

Peran Aktif Orang Tua

Menurut literatur, anak usia prasekolah mulai mengetahui sesuatu atau sosok yang menakutkan dari buku-buku cerita seperti dongeng atau melalui video, film kartun dan tayangan televisi lainnya yang bertubi-tubi. Misalnya sajian bertopik kriminalitas atau kisah-kisah bernuansa misteri/hantu.

Kebiasaan menakuti-nakuti anak sudah saatnya ditinggalkan. Mestinya orang tua menyadari efek berkepanjangan yang bisa ditimbulkan. Kalaupun anak susah diatur, tak ada salahnya mencari cara lain yang lebih bijak. Yang pasti, jangan sampai mengusik rasa aman dan nyaman si prasekolah. Orang tua juga seyogyanya menjadi sosok teladan bagi si kecil. Artinya, bila ibu/bapak sendiri adalah seorang yang penakut, maka

jangan heran bila sifat ini "menular" pada anak. Jadi, setakut apa pun, orang tua harus berupaya untuk tampil yakin dan tetap tenang, terutama ketika berada di hadapan anak. Usaha lainnya adalah mencoba membangun sikap positif. Misalnya, memberikan penjelasan kepada anak bahwa sosok dokter itu baik hati dan pintar. Alhasil, rasa takut anak terhadap dokter, klinik, atau rumah sakit berangsur-angsur bisa terkikis bahkan lenyap.

Ada baiknya pula orang tua meluangkan waktu untuk mendengarkan dengan telinga dan hati, apa gerangan yang ditakutkan anak. Tentunya tak sekadar menyimak pembicaraan si kecil, berilah dukungan yang positif dan penjelasan yang menenangkan agar anak dapat mengatasi rasa takutnya.
View Post
Migren ternyata bukan hanya sering diderita orang dewasa, tapi juga merupakan jenis sakit kepala yang sering diderita oleh anak. Dan banyak obat-obatan yang biasanya digunakan untuk mengobati migren pada orang dewasa, saat ini dapat juga menyembuhkan dengan baik pada anak-anak dan remaja.

Hal ini diungkapkan pakar pada pertemuan tahunan American Headache Society. Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu bisa bekerja dengan baik pada orang dewasa, maupun anak-anak.

Mengatasi Migren pada Anak 

Walaupun obat penghilang sakit yang sederhana seperti asetaminofen (parasetamol), asam salisilat (aspirin), dan naproksen biasanya dapat membantu menghilangkan gangguan migren, tapi para orangtua tetap dianjurkan untuk segera mencari bantuan jika sakit kepala pada anak mereka berlangsung lebih dari 4 jam dan bila pengobatan sederhana tidak juga meredakan sakit dalam waktu 2 jam. Dan perlu dihindari efek rebound karena pemakaian obat yang berlebihan sehingga memicu sakit kepala itu sendiri.

Pengobatan lain, tanpa obat-obatan seperti penanganan stres dan biofeedback (mengatur kondisi badan melalui pikiran), seringkali mengurangi sakit baik secara tersendiri maupun dikombinasikan dengan obat-obatan.

Makan dan tidur secara teratur dan banyak berolahraga akan banyak membantu. Dan pendidikan melalui pengertian juga amat penting, biarkan anak mengetahui apa itu sakit kepala, dan tidak ada yang salah pada otaknya.

Para orangtua perlu menyadari bahwa depresi dan kecemasan dapat menjadi penyebab timbulnya migren pada anak-anak. Tidak diketahui apakah gangguan-gangguan psikologi ini dikarenakan oleh sakit kepala atau apakah gangguan itu yang menyebabkan timbulnya migren.
View Post
Aphasia adalah kehilangan kemampuan untuk berbicara dan mengerti pembicaraan karena kelainan pada otak. Anak yang menderita Aphasia sejak lahir mengalami kesulitan dengan bahasa ucapan.

Mereka yang Receptive Aphasia mempunyai kesulitan yang parah dalam mengerti kata-kata dan mengerti percakapan. Anak dengan Executive Aphasia dapat mengerti dengan cukup baik tetapi mempunyai kesulitan membuat katakata untuk dirinya sendiri.

Anak yang Receptive Aphasia kelihatannya dapat membingungkan dengan anak yang autistic khususnya bila mereka sudah sama-sama remaja karena mereka juga cenderung untuk mengabaikan suara dan menjadi anak yang menyendiri.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Mengenal Aphasia pada Anak Photo Credits: huffingtonpost.co.uk[/caption]

Anak yang Executive Aphasia biasanya lebih responsif dan lebih memasyarakat, tapi mereka memiliki kesulitan yang sama dengan anak yang autistic dalam menirukan gerakan orang lain dan dalam berbicara.

Kedua kelompok anak yang menderita aphasia ini berbeda dengan anak yang autistic dalam hal dimana mereka menggunakan mata untuk membantu memahami dunia, dan mereka dapat berkomunikasi dengan baik dengan menggunakan cara non-verbal (tanpa kata-kata).

Mungkin juga diketemukan anak yang aphasia dengan cacat tambahan yang sangat mirip dengan anak yang autistic. Receptive dan executive aphasia merupakan dua dari sekian banyak kekurangan-kekurangan yang muncul pada anak yang autistic.

Aphasia dan autism saling membayangi satu sama lain, sehingga sangat sulit untuk mengatakan dalam kelompok yang mana seorang anak harus ditempatkan.
View Post
Meskipun definisi yang pasti tentang Schizophrenia selalu menjadi perdebatan para ahli, terdapat indikasi yang semakin nyata bahwa Schizophrenia adalah sebuah gangguan yang terjadi pada fungsi otak.

Dalam buku The Broken Brain : The Biological Revolution in Psychiatry yang ditulis oleh Dr. Nancy Andreasen, dikatakan bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan Schizophrenia merupakan suatu hal yang melibatkan banyak sekali faktor.

Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik. Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Mengenal Schizophrenia Photo Credits: wellingtonretreat.com[/caption]

Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitters yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak yang terserang schizophrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut.

Bagi keluarga dengan penderita schizophrenia di dalamnya, akan mengerti dengan jelas apa yang dialami penderita schizophrenia dengan membandingkan otak dengan telepon. Pada orang yang normal, sistem switch pada otak bekerja dengan normal.

Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan sesuai kebutuhan saat itu. Pada otak penderita schizophrenia, sinyal-sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan sel yang dituju.

Schizophrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun penderita tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama.

Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi schizophrenia yang tersembunyi dan berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini bisa saja menjadi schizophrenia akut. Periode schizophrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan berpikir.

Kadang kala schizophrenia menyerang secara tiba-tiba. Perubahan perilaku yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat.

Beberapa penderita mengalami gangguan seumur hidup, tapi banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal dalam periode akut tersebut. Kebanyakan didapati bahwa mereka dikucilkan, menderita depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya orang normal dalam lingkungannya.

Dalam beberapa kasus, serangan dapat meningkat menjadi apa yang disebut schizophrenia kronis. Penderita menjadi buas, kehilangan karakter sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi sama sekali, depresi, dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya sendiri.

Para Psikiater membedakan gejala serangan schizophrenia menjadi 2, yaitu gejala positif dan negatif.

Gejala positif

Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespon pesan atau rangsangan yang datang. Penderita schizophrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya.

Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.

Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada penderita schizophrenia, lampu trafik di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. Beberapa penderita schizophrenia berubah menjadi seorang paranoid. Mereka selalu merasa sedang diamat-amati, diintai, atau hendak diserang.


Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana penderita schizophrenia tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Kebanyakan penderita tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika.

Karena penderita schizophrenia tidak mampu mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara serampangan dan tidak bisa ditangkap secara logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya, kadang penderita schizophrenia tertawa sendiri atau berbicara sendiri dengan keras tanpa mempedulikan sekelilingnya.

Semua itu membuat penderita schizophrenia tidak bisa memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia. Dia juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada, dan sebagainya.

Gejala negatif

Penderita schizophrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat penderita menjadi orang yang malas.

Karena penderita schizophrenia hanya memiliki energi yang sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul membuat emosi penderita schizophrenia menjadi datar. Penderita schizophrenia tidak memiliki ekspresi baik dari raut muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Tapi ini tidak berarti bahwa penderita schizophrenia tidak bisa merasakan perasaan apapun.

Mereka mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang lain, tetapi tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka. Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu menjadi bagian dari hidup penderita schizophrenia.

Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal cinta. Perasaan depresi adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Di samping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi andil dalam depresi.

Depresi yang berkelanjutan akan membuat penderita schizophrenia menarik diri dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus, schizophrenia menyerang manusia usia muda antara 15 hingga 30 tahun, tetapi serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas.

Schizophrenia bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi. Diperkirakan penderita schizophrenia sebanyak 1 % dari jumlah manusia yang ada di bumi.

Schizophrenia tidak bisa disembuhkan sampai sekarang. Tetapi dengan bantuan Psikiater dan obat-obatan, schizophrenia dapat dikontrol. Pemulihan memang kadang terjadi, tetapi tidak bisa diprediksikan.

Dalam beberapa kasus, penderita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keringanan gejala selalu nampak dalam 2 tahun pertama setelah penderita diobati, dan berangsur-angsur menjadi jarang setelah 5 tahun pengobatan. Pada umur yang lanjut, di atas 40 tahun, kehidupan penderita schizophrenia yang diobati akan semakin baik, dosis obat yang diberikan akan semakin berkurang, dan frekuensi pengobatan akan semakin jarang.
View Post
Pernahkah anda merasa jengkel pada anak yang membantah perintah orangtua? Biasanya anak-anak pada usia balita (2-5 tahun) sedang nakal-nakalnya, karena pada usia itu anak-anak senang memikirkan keinginannya sendiri dan tidak memperdulikan omongan orangtuanya.

Misalnya, seorang anak berusia 7 tahun setiap kali ibunya menyuruh belajar, jawabannya selalu, "Tidak, nanti aja, Ma!" atau "Nggak ah, lagi malas Ma !". Sikap membantah pada anak sebenarnya wajar-wajar saja.

[caption id="" align="aligncenter" width="432"]Mencegah Perilaku Buruk Anak Photo Credits: beautyhealthtips.in[/caption]

Anak-anak ingin menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan orang tuanya. Sifatnya ini sebenarnya menunjukkan perkembangan daya berpikir anak. Jadi selama orangtua bisa memberikan alasan yang jelas atas setiap larangan atau perintah, anak juga akan mengerti. Banyak hal yang dapat dilakukan orangtua untuk menghadapi sikap dan perilaku anak yang buruk, diantaranya:

1. Berikan perintah yang jelas.

Jangan sekedar mengatakan 'tidak boleh!" atau 'jangan !', tanpa memberikan si anak alasan mengapa Anda menyuruhnya demikian. Misalnya, ketika melarang anak makan di depan pintu, katakan, "Jangan makan di depan pintu, nanti orang tidak bisa lewat!" atau ketika anak melompat-lompat di atas tempat tidur, berikan penjelasan jika ia sering melompat di atas tempat tidur nanti akan ambruk atau tempat tidur akan rusak dan seterusnya. Dengan begitu, anak akan mengerti mengapa anda melarangnya.

2. Buat batasan. Seorang anak bisa bersikap keras kepala jika dilarang atau diperintah.

Hadapilah sikapnya dengan sikap tegas anda, tapi jangan mengomel atau merayunya. Katakan apa yang anda inginkan, tegaskan bahwa si anak harus melakukan apa yang Anda katakan.

3. Jika memungkinkan, berikan pilihan yang jelas.

Misalnya, "Kamu mandi sekarang! Kalau mandinya nanti, airnya sudah keburu habis!", atau ketika seorang anak yang kepergok merokok, katakan, "Kalau kamu merokok nanti paru-parumu jadi rusak", dan sebagainya. Dengan begitu anak akan mengerti apa akibatnya kalau ia tak segera menuruti perintah Anda.

4. Peringatkan lebih awal.

Ketika seorang anak anda sudah terlalu lama bermain dan sudah waktunya untuk tidur, cobalah untuk mengingatkannya lima atau sepuluh menit lebih awal. Dengan begitu, anak anda tahu bahwa sebentar lagi ia harus berhenti bermain. Sehingga ketika saatnya benar-benar tiba, ia tak akan membantah Anda karena ia sudah mempersiapkan dirinya untuk berhenti bermain.

Satu hal yang perlu diingat oleh orangtua adalah, bahwa anak tetaplah anak dengan pikiran polosnya. Bagi anak, dunianya penuh dengan kegembiraan dan keceriaan. Sehingga kekerasan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi sikapnya. Cobalah untuk menunjukkan rasa kasih sayang dan dukungan Anda kepadanya.
View Post
Secara garis besar, Autisme, adalah gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak, yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.  Pada anak-anak biasa disebut dengan Autisme Infantil.

Selain Autisme juga dikenal istilah Schizophrenia yang juga merupakan gangguan yang membuat seseorang menarik diri dari dunia luar dan menciptakan dunia fantasinya sendiri seperti: berbicara, tertawa, menangis, dan marah-marah sendiri.

[caption id="" align="aligncenter" width="400"]Mengenal Autisme pada Anak Photo Credits: autismepicenter.com[/caption]

Tetapi ada perbedaan yang jelas antara penyebab dari Autisme pada penderita Schizophrenia dan penyandang autisme infantil. Schizophrenia disebabkan oleh proses regresi karena penyakit jiwa, sedangkan pada anak-anak penyandang autisme infantil terdapat kegagalan perkembangan. Gejala autisme infantil timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, gejala-gejala itu sudah ada sejak lahir.

Seorang Ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatap mata. Untuk memeriksa apakah seorang anak menderita autis atau tidak, digunakan standar internasional tentang autisme.

ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993 dan DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 merumuskan kriteria diagnosis untuk Autisme Infantil yang isinya sama, yang saat ini dipakai di seluruh dunia.

Kriteria tersebut adalah : Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3) seperti di bawah ini, dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3).

Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik.

Minimal harus ada 2 dari gejala di bawah ini :

  • Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai : kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju

  • Tidak bisa bermain dengan teman sebaya

  • Tak ada empati (tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain) · Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik


Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi.

Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :

  • Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal

  • Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi

  • Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang

  • Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang dapat meniru


Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.

Minimal harus ada 1 dari gejala di bawah ini :

  • Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan

  • Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya

  • Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang

  • Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda


Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang (1) interaksi sosial, (2) bicara dan berbahasa, dan (3) cara bermain yang monoton, kurang variatif. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.

Namun kemungkinan kesalahan diagnosis selalu ada, terutama pada autisme ringan. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya gangguan atau penyakit lain yang menyertai gangguan autis yang ada, seperti retardasi mental yang berat atau hiperaktivitas.

Autisme memiliki kemungkinan untuk dapat disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada. Berdasarkan kabar terakhir, di Indonesia ada 2 penyandang autis yang berhasil disembuhkan, dan kini dapat hidup dengan normal dan berprestasi. Di Amerika, di mana penyandang autisme ditangani secara lebih serius, persentase kesembuhan lebih besar.
View Post
Seorang Ibu yang mempunyai anak berumur 7 tahun sering mengeluh kepada tetangganya, kalau anaknya akhir-akhir ini sering berbohong kepadanya.

Si anak sering membawa mainan dari sekolah. Ketika ditanya mainan itu dari mana, si anak menjawab kalau mainan itu diberikan oleh tetangga. Padahal mainan itu diambilnya dari sekolahnya.

Mengapa si anak sampai berbohong kepada orangtuanya ? Kemungkinan besar hal tersebut terjadi karena adanya faktor pendorong dari diri anak. Mungkin ia menginginkan sebuah mainan tetapi orangtuanya tidak mau memberikannya.

[caption id="" align="aligncenter" width="443"]Mengapa Anak Sering berbohong ? Photo Credits: aboutislam.net[/caption]

Atau mungkin karena si anak ingin mendapatkan perhatian lebih atau bisa jadi karena faktor lingkungan di rumah, sekolah maupun masyarakat yang membentuk karakter dan sifat tidak jujur pada anak. Untuk mencegah kasus-kasus seperti di atas terjadi, ada beberapa hal yang mungkin perlu kita perhatikan bersama dalam pertumbuhan anak, di antaranya :

  • Ajarkanlah anak arti dan nilai kejujuran sejak kecil dengan memberikan contoh dan akibat yang bisa terjadi dari kebohongannya. Jika kebohongan sudah terlanjur terjadi, jangan hukum anak dengan keras tetapi bantulah anak untuk memperbaiki sifatnya agar tidak berbohong lagi. Contoh pada kasus di atas, orangtua harus menyuruh dan menemani anaknya untuk mengembalikan mainan yang telah diambilnya. Bantu anak untuk memperbaiki kesalahannya dengan belajar untuk meminta maaf atas tindakan yang telah dilakukannya.

  • Jangan pernah mencaci ataupun membentak anak karena kebohongannya. Buatlah pernyataan dan kalimat-kalimat yang baik yang memberikan kepercayaan kita dan juga pernyataan bahwa hal yang telah dilakukannya adalah sesuatu yang salah. Contohnya : "Ibu tahu kamu bukan seorang pembohong dan seorang yang suka mengambil kepunyaan orang lain, tapi mengapa kamu mengambil sesuatu yang bukan kepunyaan kamu?" dan seterusnya.

  • Ciptakan suasana lingkungan keluarga yang terbuka. Hal ini akan membuat anak terbuka dan tidak takut untuk mengemukakan pendapat dan perasaannya kepada orangtua maupun saudaranya, sehingga tidak ada hal yang ditutupi oleh anak.


Hal-hal di atas kemungkinan besar dapat membantu anak untuk belajar jujur dan menuju proses menghargai diri sendiri serta orang lain dalam pertumbuhannya menjadi seorang remaja dan dewasa.
View Post
Banyak penyebab sesak napas pada bayi. Yang jelas, segera bawa ke dokter atau rumah sakit karena bisa fatal akibatnya.

Kasus sesak napas pada usia bayi banyak terjadi. Bisa saat pertama lahir, maupun beberapa hari atau bulan setelah kelahirannya baru mengalami sesak napas ini.

Dalam istilah kedokteran, kata Muljono Wirjodiardjo, M.D., PhD, "Yang disebut sesak napas adalah jika frekuensi napasnya betul-betul tinggi, ada suara napas yang berbeda dari biasanya (stridor), seperti suara menggorok atau kucing mendengkur. Fatalnya, jika muka sampai tampak membiru."

Sedangkan menurut pendekatan orang awam, definisi sesak napas lebih mudah lagi yaitu terlihat dari gejalanya. Jadi, kalau anaknya susah napas disebut sesak napas. Begitu juga kalau napasnya berbunyi.

Aneka Penyebab Bayi Sesak Napas Banyak
Aneka Penyebab

Penyebab sesak napas pada bayi, banyak sekali. Bisa karena kelainan bawaan, penyakit infeksi, maupun noninfeksi seperti tersedak. Gejalanya hampir sama. Misalnya untuk derajat ringannya, ada napas yang berbunyi atau batuk berlendir, disertai tak mau makan-minum dan rewel. Sementara kalau derajatnya makin berat, fungsi paru-parunya sudah terganggu sehingga sesak napas dan sampai membiru.

Jadi, derajat sesak napas berbeda-beda. Ada yang mulanya ringan dan makin berat dan ada juga sesak napas yang kejadiannya tiba-tiba atau mendadak. Berikut uraian Muljono mengenai hal-hal yang bisa menyebabkan sesak napas pada bayi:

Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru.

Bila bayi mengalami sesak napas begitu lahir atau 1-2 hari kemudian, biasanya disebabkan adanya kelainan jantung atau paru-paru. Hal ini bisa terjadi pada bayi dengan riwayat kelahiran normal atau bermasalah, semisal karena ketuban pecah dini atau lahir prematur.

Pada bayi prematur, sesak napas bisa terjadi karena adanya kekurangmatangan dari organ paru-paru. Paru-paru harusnya berfungsi saat bayi pertama kali menangis, sebab saat ia menangis, saat itu pulalah bayi mulai bernapas. Tapi pada bayi lahir prematur, karena saat itu organnya tidak siap, misalnya gelembung paru-paru tak bisa mekar atau membuka, sehingga udara tidak masuk.

Itu sebabnya ia tak bisa menangis. Ini yang namanya penyakit respiratory distress syndrome (RDS). Tidak membukanya gelembung paru-paru tersebut karena ada suatu zat, surfactan, yang tak cukup sehingga gelembung paru-paru atau unit paru-paru yang terkecil yang seperti balon tidak membuka. Ibaratnya, seperti balon kempis.

Gejala pada kelainan jantung bawaan adalah napas sesak. Ada juga yang misalnya sedang menyusui atau beraktivitas lainnya, mukanya jadi biru dan ia jadi pasif. Jadi, penyakitnya itu utamanya karena kelainan jantung dan secondary-nya karena masalah pernapasan.

Jadi, biasanya sesak napas yang terjadi ini tidak bersifat mendadak. Walaupun demikian, tetap harus segera dibawa ke dokter. Kelainan pada jalan napas/trakea.

Kelainan bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada bayi. Gejalanya, napas sesak dan napas berbunyi "grok-grok". Kelainan ini terjadi karena adanya hubungan antara jalan napas dengan jalan makanan/esophagus.

Kelainan ini dinamakan dengan trackeo esophageal fistula. Akibat kelainan itu,ada cairan lambung yang bisa masuk ke paru-paru. Tentunya ini berbahaya sekali. Sehingga pada usia berapa pun diketahuinya, harus segera dilakukan tindakan operasi. Tak mungkin bisa menunggu lama karena banyak cairan lambung bisa masuk ke paru-paru.


Sebelum operasi pun dilakukan tindakan yang bisa menolong jiwanya, misal dengan dimasukkan selang ke jalan napas sehingga cairan dari lambung tak bisa masuk. Biasanya sesak napasnya tampak begitu waktu berjalan 1-3 jam setelah bayi lahir. Nah, bila ada sesak napas seperti ini, prosedur yang harus dilakukan adalah dilakukan foto rontgen segera untuk menganalisanya.

Tersedak air ketuban.

Ada juga penyakit-penyakit kelainan perinatologi yang didapat saat kelahiran. Bukankah saat dalam kandungan bayi minum dan buang air dalam air ketuban? Nah, karena suatu hal, misalnya stres pada janin, ketuban jadi keruh dan air ketuban ini masuk ke paruparu bayi.

Hal ini akan mengakibatkan kala lahir ia langsung tersedak. Bayi tersedak air ketuban akan ketahuan dari foto rontgen, yaitu ada bayangan "kotor". Biasanya ini diketahui pada bayi baru lahir yang ada riwayat tersedak, batuk, kemudian sesak napasnya makin lama makin berat.

Itulah mengapa, pada bayi baru lahir kita harus intensif sekali menyedot lendir dari mulut, hidung atau tenggorokannya. Bahkan kalau tersedak air ketubannya banyak atau massive, harus disedot dari paru-paru atau paru-parunya dicuci dengan alat bronchowash. Lain halnya kalau air ketubannya jernih dan tak banyak, tak jadi masalah. Biasanya dengan obat saja sudah sembuh, tak usah dicuci paru-parunya.

Namun kalau air ketubannya hijau dan berbau, harus disedot dan "dicuci" paru-parunya. Sebab, karena tersedak ini, ada sebagian paru-parunya yang tak bisa diisi udara/atelektasis atau tersumbat, sehingga menyebabkan udara tak bisa masuk.

Akibatnya, jadi sesak napas. Biasanya kalau di-rontgen,bayangannya akan terlihat putih. Selain itu, karena tersumbat dan begitu hebat sesak napasnya,ada bagian paru-paru yang pecah/kempes/pneumotoraks. Ini tentu amat berbahaya.

Apalagi kejadiannya bisa mendadak dan menimbulkan kematian. Karena itu bila sesak napas seperti ini, harus lekas dibawa ke dokter untuk mendapatkan alat bantu napas/ventilator. Seram sekali, ya, Bu-Pak? Karena itulah kala melahirkan si kecil, sebaiknya kita didampingi dokter anak, sehingga dia bisa menilai sistem pernapasan anak, apakah baik atau tidak.

Pembesaran kelenjar thymus.

Ada lagi napas sesak karena beberapa penyakit yang cukup merisaukan yang termasuk kelainan bawaan juga. Gejalanya tidak begitu kuat. Biasanya bayi-bayi ini pun lahir normal, tak ada kelainan, menangisnya pun kuat.

Hanya saja napasnya seperti orang menggorok dan semakin lama makin keras, sampai suatu saat batuk dan berlendir. Kejadian ini lebih sering dianggap karena susu tertinggal di tenggorokan. Namun ibu yang sensitif biasanya akan membawa kembali bayinya ke dokter. Biasanya kemudian diperiksa dan diberi obat. Bila dalam waktu seminggu tak sembuh juga, baru dilakukan rontgen.

Penyebabnya biasanya karena ada kelainan pada jalan napas, yaitu penyempitan trakea. Ini dikarenakan adanya pembesaran kelenjar thymus. Sebetulnya setiap orang punya kelenjar thymus. Kelenjar ini semasa dalam kandungan berfungsi untuk sistem kekebalan. Letaknya di rongga mediastinum (diantara dua paru-paru).

Setelah lahir karena tidak berfungsi, maka kelenjar thymus akan menghilang dengan sendirinya. Namun adakalanya masih tersisa: ada yang kecil, ada juga yang besar; baik hanya satu atau bahkan keduanya. Nah, kelenjar thymus yang membesar ini akan menekan trakea. Akibatnya, trakea menyempit dan mengeluarkan lendir. Itu sebabnya napasnya berbunyi grok-grok dan keluar lendir, sehingga jadi batuk.

Pengobatannya biasanya dilakukan dengan obat-obatan khusus untuk mengecilkan kelenjar thymus agar tidak menekan trakea. Pemberian obat dalam waktu 2 minggu. Kalau tak menghilang, diberikan lagi pengobatan selama seminggu. Sebab, jika tidak diobati, akan menganggu pertumbuhan si bayi. Berat badan tak naik-naik, pertumbuhannya kurang, dan harus banyak minum obat.


Kelainan pembuluh darah.

Ada lagi kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau napasnya bunyi (stridor), yang dinamakan dengan vascular ring. Yaitu,adanya pembuluh darah jantung yang berbentuk seperti cincin (double aortic arch) yang menekan jalan napas dan jalan makan. Jadi, begitu bayi lahir napasnya berbunyi stridor.

Terlebih kalau ia menangis, bunyinya semakin keras dan jelas. Bahkan seringkali dibarengi dengan kelainan menelan, karena jalan makanan juga terganggu. Pemberian makanan yang agak keras pun akan menyebabkannya muntah, sehingga anak lebih sering menghindari makanan padat dan maunya susu saja.

Pengobatannya, bila setelah dirontgen tidak ditemui kelenjar thymus yang membesar, akan diminta meminum barium untuk melihat apakah ada bagian jalan makan yang menyempit. Setelah diketahui, dilakukan tindakan operasi, yaitu memutuskan salah satu aortanya yang kecil.

Tersedak makanan.


Tersedak atau aspirasi ini pun bisa menyebabkan sesak napas. Bisa karena tersedak susu atau makanan lain, semisal kacang. Umumnya karena gigi mereka belum lengkap, sehingga kacang yang dikunyahnya tidak sampai halus. Kadang juga disebabkan mereka menangis kala mulutnya sedang penuh makanan.

Atau ibu yang tidak berhati-hati kala menyusui, sehingga tiba-tiba bayinya muntah. Mungkin saja sisa muntahnya ada yang masih tertinggal di hidung atau tenggorokan. Bukankah setelah muntah, anak akan menangis? Saat menarik napas itulah, sisa makanan masuk ke paru-paru.


Akibatnya, setelah tersedak anak batuk-batuk. Mungkin setelah batuk ia akan tenang, tapi setelah 1-2 hari napasnya mulai bunyi. Bahkan bisa juga kemudian terjadi peradangan dalam paru-paru. Anak bisa panas karena terjadi infeksi. Yang sering adalah napas berbunyi seperti asma dan banyak lendir.

Biasanya setelah dilakukan rontgen akan diketahui adanya penyumbatan/atelektasis. Pengobatan dapat dilakukan dengan bronkoskopi, dengan mengambil cairan atau makanan yang menyumbatnya.

Selain makanan, akan lebih berbahaya bila aspirasi terjadi karena minyak tanah atau bensin, meski hanya satu teguk. Ini bisa terjadi karena kecerobohan orang tua yang menyimpan minyak tanah/bensin di dalam botol bekas minuman dan menaruhnya sembarangan.

Bahayanya bila tersedak minyak ini, gas yang dihasilkan minyak ini akan masuk ke lambung dan menguap, kemudian masuk ke paru-paru, sehingga bisa merusak paru-paru. Akan sangat berbahaya pula kalau dimuntahkan, karena akan langsung masuk ke paru-paru. Jadi, kalau ada anak yang minum minyak tanah/bensin jangan berusaha dimuntahkan, tapi segera ke dokter. Oleh dokter, paru-parunya akan "dicuci" dengan alat bronkoskop.

Infeksi.

Selain itu sesak napas pada bayi bisa terjadi karena penyakit infeksi. Bila anak mengalami ISPA (Infeksi saluran Pernapasan Akut) bagian atas, semisal flu harus ditangani dengan baik. Kalau tidak sembuh juga, misalnya dalam seminggu dan daya tahan anak sedang jelek, maka ISPA atas ini akan merembet ke ISPA bagian bawah, sehingga anak mengalami bronkitis, radang paru-paru, ataupun asmatik bronkitis.

Gejalanya, anak gelisah, rewel, tak mau makan-minum, napas akan cepat, dan makin lama melemah. Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir biru/sianosis, berarti pernapasannya terganggu. Penyebabnya ini akan diketahui dengan pemeriksaan dokter dan lebih jelasnya lagi dengan foto rontgen. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika.

Biasanya kalau bayi sudah terkena ISPA bawah harus dilakukan perawatan di rumah sakit. Setelah diobati,umumnya sesak napas akan hilang dan anak sembuh total tanpa meninggalkan sisa, kecuali bagi yang alergi.
View Post