“A-B-D- $ - C…!”



Si Kecil Mengalami Kesulitan Belajar?

Kesulitan belajar berpengaruh besar pada kehidupan seseorang. Studi mengungkapkan penanganan dini dan intensif membantu meringankan masalahnya. Cermati tanda-tandanya
pada anak Anda agar segera tertangani.

Setiap anak tumbuh dan berkembang berbeda-beda. Ada yang cepat menangkap informasi, ada yang lambat. Ketika stimulasi tak mampu membantu anak mengatasi kesulitan belajar atau learning difficulties/disabilities (LD), Anda perlu waspada! Sebab, di negara maju, ditemukan gangguan kesulitan belajar mengintai 5 – 15 persen anak dari jumlah populasi.

Terkadang tak terdeteksi

Pada awalnya, sebut saja Sendi, tak mengira masalah yang dihadapinya berkenaan dengan disleksia (salah satu gangguan dalam LD , lihat boks : . Beberapa Gangguan dalam Kesulitan Belajar). Sampai suatu saat ia disadarkan oleh teman-teman kerjanya bahwa selalu saja yang ia ungkapkan atau ekspresikan berbeda dibanding informasi (baik tertulis maupun lisan) yang seharusnya ia tangkap.

Sejak kecil Sendi memang sering ‘tidak nyambung’ dengan pelajaran yang ia peroleh dari guru. Tetapi karena tekun dan diarahkan orang tua, ia bisa mengejar pelajaran. Sampai akhirnya Sendi pun lulus kuliah dengan nilai baik, dan bekerja di sebuah lembaga nirlaba asing dengan perkembangan karir di atas rata-rata. Meski masalah demi masalah berhasil diatasinya, tanda tanya itu tetap belum terjawab, “Apa yang salah dengan diri saya?”.

Masalah yang dihadapi Sendi memang terbilang tidak terlalu parah. Seperti beberapa pesohor dunia sukses macam Tom Cruise, Whoopy Goldberg, Tommy Hilfiger dan beberapa CEO dunia yang sukses. Mereka mengalami masa-masa sulit dalam beberapa tonggak kehidupan mereka. Namun beruntung mereka tak lantas putus harapan. Namun demikian, tak banyak yang seberuntung mereka.

Berdasarkan studi, sekitar 5 – 15 persen anak dari jumlah populasi Amerika Serikat menyandang LD. Kurang lebih sama seperti ditemukan di negara-negara Eropa, seperti di Inggris atau Jerman. Tak ada yang tahu persis, berapa jumlah anak-anak yang menyandang kesulitan belajar di Indonesia sampai saat ini. Diperkirakan persentasenya kurang lebih sama. Bedanya, orang tua dan sekolah di negara-negara lain (terutama negara maju), memiliki kebijakan memberikan penanganan khusus untuk mengatasi masalah kesulitan belajar. Akibatnya, tak sedikit yang tak terdeteksi dini bahkan memperoleh salah penanganan.

LD = ‘korslet’ di otak

Menurut psikolog yang aktif memberi konseling di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-UI), Indri Savitri, psi , umumnya penyandang LD mengalami ‘penyimpangan’, antara informasi yang diterima dan output (keluaran) berbeda, “Sepintas anak-anak LD sebagaimana manusia seutuhnya, tak beda dengan anak-anak lain. Tetapi saat menerima informasi dan kemudian mau melakukan tindakan (misalnya, menulis, mengucapkan atau melakukan gerakan) tiba-tiba terjadi ‘korslet’. Hasilnya, istilahnya ‘tidak nyambung’,” jelas konsultan perkumpulan orang tua anak-anak LD dari sejumlah sekolah di Jakarta.

Dr. Dwi Putro, Sp.A (K), Mmed , di Divisi Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSUPN Ciptomangun Kusumo melihat gangguan kesulitan belajar sebagai sesuatu yang sangat luas. “Ada anak yang mengalami gangguan konsentrasi ( ADD/ADHD ) sehingga mengalami LD . Ada juga anak yang mengalami disleksia saja, misalnya, dan gejalanya tidak terlihat karena bersifat ringan,” ungkap staf pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Itu sebabnya, secara medis, pemeriksaan disleksia murni misalnya, sedikit lebih sulit dan harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Sementara bagi anak-anak LD dengan dasar ADHD , ada semacam standar penanganan yang berdiri sendiri. Sebab, ADHD sudah merupakan sebuah gangguan yang spesifik. Itu sebabnya, seringkali ADHD dan LD bersanding erat.

Secara organ, dr. Dwi Putro mengungkapkan bahwa pada anak-anak LD didasari oleh ADHD, terdapat bagian spesifik di otak yang membutuhkan penanganan medis. Sementara pada otak anak-anak yang disleksia murni tidak terlacak adanya gangguan di bagian tertentu. “Itu sebabnya, penting melakukan pemeriksaan dini sehingga diperoleh klarifikasi, jenis kesulitan belajar yang disandang anak. Dengan penanganan tepat, deteksi dini dan ketekunan berlatih, gangguan anak-anak penyandang LD dapat diringankan,” jelas dr. Dwi Putro.

Serba segera

Memang tak mudah mendeteksi adanya gangguan LD pada anak. Sebab, diantara para ahli juga masih terdapat perdebatan dalam hal definisi. “Yang jelas, ketika kecurigaan muncul, orang tua dapat membawa anaknya ke psikolog, psikiater atau neurolog anak,” jelas Indri.

Di Indonesia, hubungan antar ahli bersifat saling merujuk. Artinya, ketika orang tua datang ke dokter dan menjalani pemeriksaan, biasanya dokter kemudian merujuk ke psikolog dan terapis (jika diperlukan). Kemudian psikolog akan merujuk ke ahli pendidikan atau guru. Oleh masing-masing ahli, si kecil juga menjalankan sejumlah pemeriksaan dan ini kerap membuat orang tua frustrasi.

“Meskipun kerap membuat orang tua frustrasi, kenyataannya memang si kecil harus menjalani serangkaian tes pemeriksaan, termasuk assesment (tes pengukuran) ketika akan bersekolah di sekolah khusus,” ujar Indri.

Ciri LD atau tanda yang harus diwaspadai orang tua dapat ditemukan pada si prasekolah (Lihat boks: Ciri-Ciri yang Harus Diwaspadai ). Namun, pada beberapa anak yang cukup ‘pandai’, LD bisa saja tak terdeteksi hingga si kecil duduk di kelas 5 atau 6.

Pengetahuan orang tua secara umum tentang LD juga menjadi salah satu kunci agar anak memperoleh penanganan dini dan tepat. Yang dialami Maria Christy Althea (6,5 tahun) dapat dijadikan pelajaran. Pada usia 3,5 tahun, Christy dinilai ibunya, Lily Indah Sujati (41 tahun), sebagai anak yang tidak dapat mengurutkan angka dari 1 sampai 10. Lily berupaya memberikan stimulasi dengan latihan. Beranjak dari TK ke SD, kesulitan Christy mengenal abjad, angka dan membaca tak kunjung membaik. Bahkan di kelas ia kemudian dicap teman-temannya sebagai “si bodoh”, karena ia selalu tertinggal jauh dibanding teman-temannya dalam mengerjakan tugas.

“Awalnya, saya menduga anak saya bodoh dan tidak mampu belajar. Tetapi mengapa tes IQ menunjukkan skor tinggi (Skala Wechsler= 132) dan cukup cerdas? Pada akhirnya seorang psikolog merujuk Christy ke Bimbingan Remedial Terpadu (BRT), dari situ barulah saya tahu ia menyandang LD ,” jelas Lily.

Sejak itulah cara pandang Lily pada Christy berubah. Namun sayang Christy sudah memandang dirinya bodoh, sebagaimana cap yang dilekatkan oleh lingkungannya sehingga ia butuh terapi emosi agar rasa percaya dirinya bangkit dan konsepnya menjadi positif.

Tak berdiri sendiri

Ada sebuah kerumitan tersendiri ketika kita berusaha memahami gangguan kesulitan belajar. Demikian pula bagi para ahli sebagaimana diungkapkan dr. Dwi Putro di awal tulisan.

Sebagai contoh, Muhammad Fauzan (7 tahun) yang menyandang gangguan keterampilan motorik halus (yang penting untuk menunjang kegiatan menulis dan menyandang gangguan konsentrasi). Fauzan akhirnya harus menjalani terapi sensori integrasi untuk menguatkan otot-otot tangan dan jari, disamping latihan konsentrasi karena ia ternyata juga menyandang ADHD.

Dengan deteksi dini sejak usia batita, ia segera mendapat penanganan ahli, menjalani terapi dan masuk ke sekolah khusus Yayasan Pantara. Hasilnya, Fauzan mencapai kemajuan pesat.

“Anak-anak yang menyadang LD , biasanya memiliki IQ sangat tinggi. Mereka cerdas di atas anak rata-rata dan berbakat. Tetapi mereka biasanya mentok dalam urusan akademik, kecuali mendapat pendekatan yang tepat seperti dilakukan oleh sekolah khusus, atau sekolah umum yang peduli dengan anak-anak LD ,” ungkap Indri.

Di Amerika Serikat, misalnya, ada beberapa lembaga yang berupaya mengatasi masalah kesulitan belajar, seperti The National Center for Learning Disabilities. Di Indonesia, meskipun tidak besar, ada beberapa sekolah umum yang mendirikan perkumpulan orang tua dari anak-anak LD sebagaimana yang bekerja sama dengan LPT- UI selama ini.

Menurut Indri, penyandang LD butuh bimbingan khusus dan ditempatkan di kelas dengan murid terbatas. Misalnya, 9 – 10 murid dengan 3 orang guru plus seorang psikolog seperti di sekolah Fauzan. Jangan juga terlalu mem- push , jika anak tak berhasil juga mengatasi hambatannya dalam belajar.

“Ajaklah anak untuk berusaha bersama, misalnya, “Nak, tadi Bu guru bilang kamu harus banyak latihan menulis, yuk, kita lakukan sama-sama”. Kunci keberhasilan anak-anak LD adalah dukungan keluarga. Keluarga, terutama orang tua harus peka, memberikan penerimaan yang baik terhadap anak LD dan memilih ahli serta sekolah yang tepat. Ini menentukan konsep diri yang positif,” Indri menyarankan.

Tentu saja ini berarti, orang tua dan dunia pendidikan harus mendefinisikan ulang istilah “sukses” bagi anak-anak LD . Sukses tak berarti berhasil dalam urusan akademis semata. Sukses justru berawal dari keberhasilan membidik dan mengarahkan bakat unik anak.

Andi Maerzyda A. D. Th.(ayahbunda)