Mengekspresikan Marah Secara Tepat Kepada Anak

Marah, adalah kewajaran bagi orangtua bila sedang jengkel dan dibikin pusing oleh anak. Namun bagi anak-anak tertentu, kemarahan orangtua identik dengan pukulan fisik, kekerasan verbal ( umpatan, makian, dan cacian ), dan menimbulkan luka psikis bagi anak.

Sementara bagi orangtua, anak anak tertentu yang terlalu sering menimbulkan kejengkelan, bandel, nakal dan perilaku tidak menyenangkan lainnya yang memaksa orangtua menumpahkan segala macam ekspresi kemarahan. Tidak heran, orangtua pun tidak perduli manakala cap " cerewet " menghinggapi dirinya.

Mengekspresikan Marah Secara Tepat Kepada Anak

Tidak tepat

Marah itu memang mudah. Begitu mudahnya marah, sehingga setiap orang akan mampu marah. Tetapi, marah yang tepat, pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang pas, demi tujuan yang benar, dengan cara yang baik, bukanlah sesuatu yang mudah. Demikian ungkap Aristoteles dalam tulisannya The Nichomachean Ethics dan diungkap ulang oleh Dr. Daniel Goleman, psikolog yang mendalami ilmu-ilmu perilaku dan otak. Kata-kata tersebut cukup mewakili bagaimana sebenarnya posisi kemarahan pada setiap individu.

Bagi orangtua yang beraliran konservatif dalam mendidik anak, memang merasa berhak untuk selalu marah, bila merasa jengkel dan tidak menyukai perilaku anak. Hak ini didukung oleh argumen, bahwa kemarahan orangtua adalah demi kebaikan terhadap anak itu sendiri.

Tujuan ini tentu saja dibenarkan, namun kadar, waktu, dan cara marah yang keliru, sering menimbulkan suasana semakin ruwet. Orangtua semakin marah, anak semakin memberontak. Orangtua mengecap anaknya sebagai anak yang bandel, nakal, suka membantah orangtua, sementara anak melakukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri. Misalnya dengan lari dari suasana rumah, berkeliaran di mal-mal, pulang larut malam, atau bahkan terlibat dalam obat-obatan terlarang.

Untuk itu dibutuhkan tidak saja ketrampilan kognitif intelektual manakala orangtua akan menggunakan hak marahnya kepada anak, melainkan juga dituntut adanya ketrampilan emosional. Ketrampilan kognitif intelektual tampak dari tujuan marah yang ilmiah, yakni karena kamu salah maka mama dan papa berhak untuk marah. Ketrampilan emosional, tampak dari bagaimana ketepatan orangtua untuk mengekspresikan marahnya secara tepat.

Empat langkah

Orangtua tertentu memang melakukan kesalahan fatal manakala mereka marah kepada anak. Katakata alasan marah, dan ekspresi emosi yang tidak terkendali, tumpah ruah kepada anak. Komunikasi macet, orangtua semakin marah, anak pun ikut- ikutan menolak kemarahan dan jadi ikut marah pula.

Daniel Goleman menyodorkan empat langkah alternatif marah yang tepat terhadap anak.  Empat langkah ini terdiri atas strategi SOCS ( Situation, Option, Consequence, dan Solution ) Artinya, hendaknya kita mempelajari situasi psikologis anak ( badan capek, pikiran masih kacau, atau anak memang tipe pemberontak ), kemudian menuliskan alternatif- alternatif yang bisa dilakukan terhadap anak ( menasehati langsung, menasehati tetapi ditunta setelah anak memiliki waktu yang tepat, menasehati biasa, menasehati dengan nada keras, dsb), memikirkan segala konsekuensinya ( anak menerima tanpa syarat, diterima dengan syarat, atau anak menolak nasihat orangtua), lalu tuliskan atau pikirkan juga bagaimana solusi-solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah anak tersebut.

Tonjolkan aspek tanggung jawab kepada anak, bahwa setiap perilaku dan sikap yang dilakukan anak, akan membawa konsekuensi tersendiri. Konsekuensi itu tidak selalu menyenangkan, namun ada juga yang menyusahkan. Biarkan anak berpikir, mana yang akan ia pilih.

Dalam psikologi, dikenal adanya Analisis Transaksional. Salah satu aspek ajaran Analisis transksional ini adalah bahwa untuk mendidik anak jangan selalu dengan kemarahan fisik, larangan, dan menasehati. Sekali tempo konfrontasikan dengan konsekuensi yang mungkin akan dialami anak bila anak tidak menuruti nasehat orangtua, atau sebuah ujud kemarahan yang tersamar.

Misalnya, tampak dengan nasehat kontroversial dan bersifat konfrontatif. Misal dengan mengatakan . kalau kamu tidak mau turun dari pohon yang terlalu tinggi itu, naik saja setinggi mungkin atau kalau kamu jatuh, sakitnya akan lebih terasa. Untuk mencapai tujuan secara baik, orangtua hendaknya lebih jeli mengamati tipe-tipe psikologis anak. Dengan demikian, marahpun memang dituntut ketepatan dalam mengekspresikannya.