Storytelling sebagai Metode Mencerdaskan Anak

Menurut kedokteran optimalisasi perkembangan kecerdasan dimulai dari anak baru lahir sampai usia 5 tahun atau sering disebut dengan usia golden age (usia emas). Hal ini menunjukkan bahwa hampir 50 persen potensi kecerdasan anak sudah terbentuk pada usia empat tahun, kemudian secara bertahap mencapai 80 persen pada usia delapan tahun.

Untuk mencerdaskan anak bisa dilakukan dengan memberikan stimulasi. Diantara cara yang paling mudah adalah dengan membacakan buku pada anak, terutama sejak usia dini (0-6 tahun). Dengan cara demikian anak bisa merespon informasi yang disampaikan dalam cerita dan otak menyerap informasi yang terkandung di dalamnya.

Seperti yang sudah diketahui bahwa usia balita disebut sebagai the golden age, dimana kualitas otak anak sangat ditentukan oleh tiga tahun pertama kehidupannya. Saat lahir, otak memiliki satu triliun sel otak. Setelah kelahiran, otak bayi menghasilkan bertriliun-triliun sambungan (sinap) antar neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Proses inilah yang membentuk pengalaman dan akan dibawanya seumur hidup.

[caption id="" align="aligncenter" width="480"]Storytelling sebagai Metode Mencerdaskan Anak Photo Credits: bbci.co.uk[/caption]

Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh anak tersebut, maka pemberian stimulus yang tidak maksimal juga akan membuat potensi tidak berkembang dengan optimal. Untuk mencapai perkembangan potensi anak secara optimal, seharusnya stimulasi dilakukan sejak anak usia dini.

Banyak wacana yang mengatakan akhir-akhir ini orangtua banyak lebih memilih cara yang lebih instan dan mudah dalam melaksanakan pengasuhan anak. Hal ini ditunjukkan dengan kurang adanya kontrol dan dampingan orangtua terhadap pergaulan anak, kegiatan anak dan tontonan program televisi yang disaksikan oleh anak-anak.

Pengaruh media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih & intensitasnya semakin tinggi. Sementara orangtua tidak memiliki banyak waktu yang cukup untuk memperhatikan, mendampingi & mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton televisi dari pada melakukan aktifitas lain yang mampu mengembangkan kreatifitasnya.

Masih banyak orangtua memandang bahwa beberapa program televisi mampu menggantikan perannya untuk membuat anak menjadi lebih diam dan menikmati dengan berbagai bentuk visualnya. Padahal banyak penelitian yang menyatakan bahwa televisi memiliki beberapa dampak negatif terhadap tumbuh kembang anak.

Diantaranya, penelitian Prof Sarlito menyebutkan bahwa banyaknya waktu yang dihabiskan oleh anak-anak untuk melihat televisi menyebabkan anak lebih pasif, sulit berinteraksi, lebih agresif dan sulit berkomunikasi serta kreatifitas anak menjadi lebih sempit.

Penelitian lain menyebutkan bahwa melihat televisi lebih dari 6 jam sehari bisa menimbulkan dampak negatif pada anak, diantaranya: mendorong anak menjadi konsumtif, berpengaruh terhadap sikap, mengurangi semangat belajar, membentuk pola pikir sederhana, mengurangi konsentrasi, mengurangi kreativitas dan lain sebagainya (Adhim, 2006).

Model parenting atau pengasuhan dalam keluarga merupakan dasar yang sangat penting bagi perkembangan dan kesuksesan anak (Karen & Claudio, 2008). Oleh karena itu, bagaimana kemudian model pengasuhan yang diberikan kepada anak bisa sesuai dengan pengembangan potensi yang dimiliki anak, termasuk pemberian stimulasi agar berbagai kecerdasan anak bisa berkembang dengan baik, mengontrol, mendampingi apa yang disaksikan dan apa yang dilakukan oleh anak. Jadi model pola asuh authoritative merupakan bentuk pola asuh yang tetap menstimulasi dan meningkatkan kecerdasan anak.

Berbagai cara bisa dilakukan oleh orangtua untuk menstimulasi kecerdasan anak, diantaranya; mendengarkan musik, melihat atau mengalami secara langsung dalam proses pembelajaran.

Namun banyak penelitian menyatakan bahwa metode yang tepat dan efektif untuk menstimulasi berbagai kecerdasan anak usia dini adalah metode storytelling. Dalam kegiatan storytelling, proses bercerita menjadi sangat penting, karena dari proses inilah nilai atau pesan dari cerita tersebut dapat sampai pada anak. Pada saat proses storytelling berlangsung terjadi sebuah penyerapan pengetahuan yang disampaikan orangtua kepada anak.

Storytelling Meningkatkan Kecerdasan Bahasa Anak

Dari berbagai penelitian, storytelling digunakan sebagai metode yang mampu untuk menstimulasi dan meningkatkan kemampuan bahasa verbal anak. Melatih dan merangsang kemampuan berbahasa anak merupakan salah satu tugas penting bagi orangtua.

Salah satu metode yang tepat menurut kriteria di atas adalah dengan storytelling atau metode bercerita. Dalam Cerita pada dasarnya memiliki struktur kata dan bahasa yang lengkap serta menyeluruh yang mana di dalamnya sudah terdapat sistem aturan bahasa yang mencakup fonologi, morfologi, sintaksis, semantik (Santrock, 2007).

Lenox (2000) juga menjelaskan efek lain dari storytelling adalah alat yang sangat kuat untuk meningkatkan pemahaman diri anak dan orang lain disekitarnya.

Hal ini dijelaskan oleh Colon (1997 dalam Isbell, Sobol, 2004) yang menyatakan bahwa dalam storytelling mampu mengajari anak untuk mendengar, membantu membangun keterampilan komunikasi oral dan tulisan, dan mengembangkan pemahaman dari cerita skema.

Storytelling juga membantu mengembangkan kelancaran, menambah perbendaharaan kata, dan membantu mengingat kata. Selain itu, melalui Storytelling anak menjadi tertarik untuk bertanya ketika mereka tidak memahami isi cerita, dari proses inilah kemudian perbendaharaan kata bertambah.

Dari berbagai penelitian di atas, dapatlah kita ketahui bahwa metode storytelling bisa digunakan untuk meningkatkan kecerdasan bahasa anak usia dini.

Storytelling Membuat Anak Kreatif

Kreatifitas pada anak usia dini merupakan kemampuan yang bukan hanya ada begitu saja, tetapi membutuhkan stimulasi dari pihak luar termasuk orangtuanya.

Ford (2007) menjelaskan hasil pengalamannya mengajar menggunakan metode storytelling yang disesuaikan dengan karakteristik anak, dimana murid-muridnya memiliki kekurangan dalam memecahkan masalah secara kreatiaf. Melalui storytelling Ford mengungkapkan bahwa anak didiknya menjadi lebih kreatif dalam menjawab soal dan memecahkan masalah. Roney (1996 dalam Isbell,

Sobol, 2004) menjelaskan bahwa storytelling mampu meningkatkan kreatifitas anak, karena di dalamnya membuat pencerita berfikir bagaimana cerita itu disampaikan dengan model yang berbeda dan kreatif.

Misalnya, ketika membacakan buku tentang warna dan bentuk buah-buahan, orang tua dapat mengambil buah yang asli dan menjelaskannya pada anak. Anak dapat merasakan tekstur buah, dan mengetahui warna aslinya. Selain itu, aspek yang harus diperhatikan agar berjalan dengan efektif adalah memiliki komunikasi dua arah (antara storyteller dan pendengar).

Storytelling Mengajarkan Moral pada Anak Usia Dini

Dalam storytelling juga mengandung unsur modelling (teladan) yang bisa diberikan kepada anak melalui ceritanya. Sebagai orangtua pasti menginginkan sikap dan prilaku anak memiliki moral yang baik. Untuk mengajarkan moral yang positif pada anak usia dini tidak mungkin dengan memberikan ceramah yang panjang dan memarahi jika anak berbuat salah.

Salah satu metode yang disenangi anak tanpa harus memaksanya adalah dengan bercerita (storytelling). Di dalamnya orangtua bisa memberikan cerita yang mengandung unsur-unsur moral dan mengajarkan nilai-nilai moral yang baik kepada anak. Misalnya, sambil bercerita orangtua mengajarkan anak untuk berdo’a setiap sebelum dan sesudah makan, berterimakasih dan bersyukur dengan nikmat yang diterima, dan bersikap sopan santun kepada orang lain.

Melalui storytelling anak tanpa merasa diguruhi dan dinasehati dengan kata-kata yang menakutkan. Dengan demikian orangtua bisa mengajarkan dan menanamkan moral kepada anak sejak usia dini.

Dalam menggunakan Storytelling (metode bercerita) hendaknya menyesuaikan dengan level kognitif anak. Dimana pada usia dini, level kognitif mereka masih pada operasional kongrit (Santrock, 2007). Jadi cerita yang dibacakan atau disampaikan haruslah menyesuaikan tingkat kemampuan kognitif anak.

Membangun Attachment (Kelekatan) Antara Orangtua dan Anak dalam Storytelling

Dalam storytelling bukan hanya bisa meningkatkan berbagai kecerdasan pada diri anak, namun melalui metode cerita juga mampu meningkatkan kelekatan (attachment) antara orangtua dan anak.

Karena dalam storytelling orangtua mampu membangun komunikasi efektif, memberikan suasana menyenangkan dan membuat anak merasa nyaman dengan berbagai cerita yang diberikan. Selain itu, melalui storytelling orangtua juga memberikan perhatian yang dibutuhkan oleh anak,baik secara emosional meupun secara sosial.

Brewer (2007) menyatakan bahwa melalui storytelling mampu membangun hubungan yang harmonis dan dekat antara orangtua dan anak. Semakin bagus kelekatan yang dibangun antara orangtua dan anak, maka semakin bagus pula stimulasi kecerdasan yang diberikan kepada anak. Hal ini tentunya bisa meningkatkan kecerdasan anak.

Anak adalah anugrah dari tuhan yang luar biasa, kesuksesan anak merupakan dambaan dan harapan semua orangtua. Untuk menciptakan anak cerdas dan sukses diperlukan usaha yang maksimal, termasuk model parenting (pola asuh) yang diterapkan kepada anak.

Parenting yang bisa mengembangkan potensi dan kreatifitas anak adalah model parenting authoritative. Selain itu, untuk membuat anak cerdas bisa diawali dengan memberikan stimulasi sejak usia dini. Karena pada masa ini anak disebut sebagai masa golden age (usia keemasan), dimana stimulasi sangat tepat diberikan untuk mengembangkan kecerdasannya.

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa storytelling (metode bercerita) mampu menstimulasi berbagai kecerdasan anak sejak usia dini. Diantaranya, storytelling mampu meningkatkan kecerdasan bahasa anak, kreatifitas dan menanamkan moral pada anak usia dini.

Namun yang perlu diperhatikan adalah tahap kognitif anak usia dini masih pada tahap operasional kongkrit, maka bentuk cerita yang dijadikan sebagai metode bercerita harus menyesuaikan dengan kemampuan anak.

Referensi :  Muallifah, Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang